Globalisasi dan PT. Freeport Indonesia
Globalisasi dan PT.
Freeport Indonesia
Pendahuluan
Indonesia
merupakan negara yang sangat luas yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
dimana Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dan terdiri dari 17. 508
pulau, jumlah pulau inilah yang membuat Indonesia menjadi Negara kepulauan
terbesar di dunia.[1]
Besarnya wilayah Indonesia mengakibatkan Indonesia memiliki sumber daya alam
yang melimpah berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah
subur, batu bara, emas dan perak yang tersebar di beberapa wilayah.[2]
Kondisi Indonesia yang memiliki Kekayaan alam yang begitu besar ini
mengakibatkan perusahaan asing untuk menanamkan modalnya dan menjalin kerjasamanya
dengan Indonesia. Di sektor pertambangan, salah satu perusahaan asing yang
telah menjalin dengan Indonesia adalah PT. Freeport Indonesia, perusahaan
tambang yang berasal dari Amerika Serikat yang melakukan eksplorasi terhadap
bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak yang terletak di Kabupaten Mimika
Provinsi Papua Barat, Indonesia.
Praktek
eksploitasi tambang secara besar-besaran ini ternyata tidak sejalan dengan
pertumbuhan kesejahteraan masyarakat Papua Barat, hal ini tampak dari
perkembangan kesejahteraan masyarakat Papua Barat yang masih banyak hidup dalam
garis kemiskinan. Hal ini tampak dari tabel angka kemiskinan di bawah ini :
Dapat
kita lihat dari tabel diatas bahwa daerah yang angka kemiskinan di Indonesia
justru berasal dari daerah yang memiliki kekayaan yang melimpah dimana PT
Freeport telah melakukan usaha tambang kurang lebih dari 45 tahun namun tidak
dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat Papua. Berikutnya banyaknya kabar
dari media massa dimana demo yang dilakukan buruh PT. Freeport Indonesia akibat
pembayaran upah yang rendah yang dilakukan PT Freeport Indonesia, karena salama
ini menurut Virgo Salossa, Ketua
Bidang Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Freeport, mengatakan
bahwa “Sekarang ini rata-rata Freeport meraup keuntungan Rp74 triliun per tahun
dan 23 ribu karyawan Freeport cuma dapat sekitar Rp1,3 triliun”[3].
Telah jelas bahwa Perusahaan asing hanya ingin mengambil kekayaan yang dimiliki
oleh Indonesia tanpa memperhatikan kesejahteraan kehidupan masyarakat disekitar
daerah Tambang. Hal ini merupakan efek dari hubungan global, dimana
terbentuknya hubungan internasional membuat keleluasaan dan kedalaman
hubungan-hubungan antar negara bangsa dengan intensitas yang meningkat sehingga
hubungan tersebut membuat negara dapat terpengaruh dengan isu-isu yang
berkembang secara global.[4]
Ada
beberapa poin yang akan disampaikan pada penulisan ini, yang pertama adalah apa
itu globalisasi dan Perusahaan Tambang PT. Freeport Indonesia dan Kedua,
bagaimana globalisasi dan PT. Freeport
Indonesia bisa memasuki Indonesia dan Ketiga, ada apa dengan globalisasi dan
PT. Freeport Indonesia.
Globalisasi
Seiring
dengan perkembangan jaman dan meningkatnya ilmu pendidikan dan teknologi mengakibatkan perubahan kehidupan manusia
dimana IPTEK berkembang seiring untuk memenuhi kebutuhan manusia, IPTEK juga membuat
manusia untuk bersosial/berhubungan dengan tanpa batas sejak ditemukannya alat
komunikasi yang mutakhir seperti telepon, handphone, internet, email dll. Hal tersebut adalah salah satu dampak
globalisasi yang kita rasakan pada kehidupan sekitar kita.
Menurut
Merry Linch dalam salah satu surat kabar Amerika pada tanggal 11 Oktober 1998 (Thomas
. L Friedman, 2002:18a) bahwa Globalisasi dimulai pada saat runtuhnya tembok
Berlin, tembok yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1989,
selanjutnya beliau mengatakan bahwa runtuhnya tembok berlin diibaratkan sebagai
mengizinkan banyak orang untuk di mana saja untuk merubah aspirasinya menjadi
suatu pencapaian prestasi. Selanjutnya Thomas L Friedman mengatakan bahwa
globalisasi adalah terintegrasinya hubungan antara pasar, negara dan teknologi
untuk memungkinkan setiap individu, perusahaan dan bangsa negara untuk mencapai
seluruh dunia dengan efektif dan efisien.[5]
Era globalisasi menjadi era dimana setiap negara bebas untuk menjalin kerjasasama
dengan negara lain dengan tujuan untuk terciptanya kesejahteraan bersama
diseluruh negara yang ada dunia karena menurut Jong S. Jun dan Deil S. Wright
mengatakan bahwa hubungan global diperlukan oleh antar negara untuk menangani
isu-isu regional dan internasional pada saat ini dan yang akan datang seperti
multilateral, aturan investasi asing langsung, perjanjian perdagangan, transfer
teknologi, perlindungan kekayaan intelektual, pertukaran sosial budaya,
pemanasan global, migrasi dan politik asosialisasi regional.[6]
Mengutip
dari Jan Aart Scholtc (Amien Rais,13-14) beliau menggambarkan secara garis
besar ada 5 definisi luas tentang globalisasi yaitu sebagai berikut :
1. Internasionalisasi
yakni dilihat sebagai kegiatan antar negara yang melampaui batas wilayah
masing-masing sehingga terjadi saling tukar dan saling ketergantungan
internasional, terutama menyangkut modal dan perdagangan.
2. Liberalisasim
yakni merujuk pada proses pemusnahan berbagai restriksi politik sehingga
ekonomin dunia menjadi lebih terbuka dan tanpa batas
3. Universal
Informasi, komunikasi dan transportasi berbagai kegiatan masyarakat dunia
lainnya.
4. Westernisasi
atau modernisasi, yakni merebaknya ke seluruh dunia struktur modernitas barat
yang menyangkut, kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme dan
lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang sudah ada lebih dulu.
5. Deteritirialisasi
dimana terjadi rekonfigurasi geografi, sehingga ruang sosial tidak lagi
dipetakan berdasarkan peta teritorial, jarak dan batas teritorial.[7]
PT. Freeport Indonesia
PT. Freeport Indonesia
pertama kali beroperasi pada tahun 1967 di Indonesia yang berlokasi Kabupaten
Mimika, Provinsi Papua Barat. Pada tahun 1967 PT. Freeport Indonesia berhasil
membangun tambang Erstberg, seiring perkembangannya PT. Freeport Indonesia
berhasil membangun tambang keduanya pada tahun 1998 yang dinamakan tambang
Grasberg dikawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika.
PT.
Freeport Indonesia merupakan perusahaan Afiliasi dari Freeport- McMoran Cooper
& Gold, perusahaan publik di bidang tembaga yang terbesar di dunia yang
berpusat di Phienix, Arizona, Amerika Serikat. PT. Freeport Indonesia melakukan
usaha tambangya dengan memproses dan melakukakan eksplorasi terhadap bijih yang
mengandung tembaga, emas dan perak dan memasarkan konsentrat yang mengandung
tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.[8]
Pembahasan
Dibalik Globalisasi dan
Kejahatan Freeport
Fakih Mansour menganggap
bahwa proses globalisasi tersebut ditandai dengan paham kapitalisme, dimana
terbukanya peran pasar secara global, investasi serta proses produksi dari
perusahaan-perusahaan negara luar sehingga terciptanya peraturan baru yang
ditetapkan oleh organisasi perdagangan secara global[9], oleh
karena itu pada tahun 1995 terbentuklah organisasi yang bertujuan untuk
membantu kelancaran perdagangan global tersebut yang bertugas dalam mengawasi
kegiatan perdaganagn baik individu, perusahaan dan pemerintah dalam melaksanakan
perdagangan dunia yang dikenal dengan World
Trade Organization (WTO).[10]Kemudian
menurut International Monetary Fund
(IMF) bahwa efek globalisasi telah membawa manfaat yang besar bagi
negara-negara diseluruh dunia melalui perluasan perdagangan dunia, bahkan
pendukung dari globalisasi menganggap bahwa manfaat dari globalisasi bukan
tanpa resiko dari pergerakan modal yang mudah menguap, sehingga IMF terbentuk
untuk bekerja sebagai nasihat bagi negara yang mengalami dampak globalisasi
tersebut.[11]
Selanjutnya WorldBank mengangap
globalisasi adalah sebuah proses masa depan kehidupan manusia yang tak
terelakkan karena globalisasi telah membawa dunia lebih dekat melalui
pertukaran barang dan produk, informasi, pengetahuan dan budaya. Tapi selama
beberapa dekade terakhir, laju ini integrasi global telah menjadi jauh lebih
cepat dan lebih dramatis karena kemajuan belum pernah terjadi sebelumnya dalam
teknologi, komunikasi, ilmu pengetahuan, transportasi dan industri kemudian
worldbank mengganggap dirinya sebagai organisasi internasional untuk
mempersiapkan negara berkembang dalam menghadapi integrasi global.[12] Berdasarkan pemaparan diatas maka WTO, IMF
dan Worldbank adalah 3 aktor organisasi intenasional yang menjalankan euphoria
globalisasi bahkan ada yang mengatakan mereka adalah arsitek ekonomi dunia.
Ideologi yang dipakai 3 aktor tersebut dikenal
dengan Winston Consenssus sebagaimana diteliti oleh John Williamson seorang
ekonom, bahwa adanya kesamaan antara IMF, Worldbank dan US Tresury Department
mengenai rekomendasi dalam langkah-langkah mengatasi krisis perekonomian bagi
negara berkembang adapun rekomendasi Winston Consensuss adalah sebagai berikut
:[13]
1. Perdagangan
Bebas.
2. Liberalisasi
pasar modal.
3. Nilai
tukar mengambang.
4. Angka
Bunga ditentukan pasar.
5. Deregulasi
pasar.
6. Transfer
aset daru sektor publik ke sektor swasta.
7. Fokus
Ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial.
8. Anggran
berimbang.
9. Reformasi
Pajak.
10. Perlindungan
atas hak milik dan hak cipta.
Rekomendasi
yang ditawarkan oleh 3 aktor tersebut ternyata telah berhasil masuk ke euphoria
dari globalisasi sehingga globalisasi dapat dianggap menjanjikan masa depan
yang lebih indah. Namun seiring perkembangan zaman impian globalisasi itu tidak
terbukti, menurut Kenichi Ohmae dan Robert Reich yang menulis tentang Borderless World dimana globalisasi
merupakan bentuk imperalisme ekonomi sebuah ungkapan bahwa adanya kepentingan
suatu negara dalam menguasai negara lain.[14]
Euphoria
globalisasi pun tak terelakkan bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Indonesia telah membuka pintu globalisasi ketika Presiden Soeharto menduduki
kursi jabatannya sebagai Presiden pada saat itu, terbitnya UU Nomor 1 Tahun
1967 Tentang Penanaman Modal Asing menagakibatkan PT. Freeport Indonesia segera
menandatangani Kontrak Karya I untuk 30 tahun untuk kerjasama dalam bidang
pertambangan yang akan dilakukan di Kabupaten Mimika. Namun kejanggalan yang
terjadi adalah posisi Wilayah Papua yang belum memiliki status hukum yang kuat
dalam wilayah Indonesia karena pada saat itu Papua masih dibawah naungan PBB,
barulah Papua bergabung pada tahun 1969 melalui Pepera yaitu Penentuan Pendapat Rakyat.[15]
Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Soeharto pada saat itu dianggap tidak
adil karena Papua baru bergabung ke Indonesia pada tahun 1969. Hal itu membuat
kecurigaan terhadap dibentuknya UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing dimana UU tersebut dianggap sebagai jalan perusahaan Freeport untuk
menambang di Papua, yang memang telah lama keinginan Freeport sejak ditemukan
oleh Forbes Wilson, seorang geolog asal Freeport Sulphur Company ketika membaca
hasil laporan dari geolog Belanda Jean-Jacques Dozy yang menemukan gunung Ertsberg
atau Gunung Bijih di Papua.[16]
Seiring
perkembangannya PT. Freeport Indonesia yang menjanjikan keuntungan ekonomi
ternyata tidak seiring dengan kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar lokasi
pertambangan yang terus memburuk dan menuai protes sebagaimana di laporkan oleh
Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) didalam situsnya bahwa PT. Freeport
Indonesia telah melakukan kerusakan ekosistem hal ini tampak dari matinya
sungai Aijkwa, Aghawagon dan Otomona, tumpukan bantuan limbah tambang dan
tailing yang mencapai 840.000 ton.[17]
Kemudian pada tahun 1995 sebuah badan Amerika yaitu Overseas Private Investment Corporation (OPIC) mencabut asuransi
Freeport mencabut asuransi Freeport
dikarenakan kejahatan lingkungan yang telah dilakukan oleh PT. Freeport
Indonesia begitu juga yang dilakukan oleh Yayasan Pensiunan di Norwegia juga
menarik sahamnya dari Freeport.[18]
Selain
melakukan kejahatan di bidang lingkungan ada beberapa kejahatan lainnya yang
dilakukan oleh PT. Freeport yaitu, pertama,
kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan etika dan moral dimana PT. Freeport
memberi uang sogokan kepada oknum-oknum polisi dan militer sebagaimana
dituliskan di Harian New York Times pada tanggal 27 Desember 2005 yang menulis
tentang aksi PT. Freeport Indonesia yang memberi kucuran uang tersebut kepada
perwira menengah TNI dan Polri. Kedua,
Kejahatan manusia, 7 suku Papua digusur dari tanah warisan turun-temurun
mereka, bahkan Chris Ballart, anthropolog Australia yang pernah bekerja di
Freeport dan Abigail Abrash mengatakan ada sekitar 160 orang terbunuh antara
tahun 1975-1997. Dan yang ke tiga adalah kejahatan dalam menguras kekayaan yang
di miliki Indonesias, dimana Freeport berhasil mengakuisisi Philip Dodge Corp
dengan membayar tunai 70% dari 25,6 milyar dolar, tentu kekayaannya jauh lebih
besar daripada apa yang dilaporkan ke Indonesia.[19]
Hasil pengamatan Tempo pada tahun 1993, mengatakan bahwa hasil tambang emas
yang telah dilakukan oleh Freeport yang kemudian di jual di bursa Logam London
meraup keuntungan sekitar 53, 5 juta dolar AS, sementara Indonesia hanya
mendapat 5,3 juta dolar AS saja, dapat diperkirakan berapa kekayaan yang
dimiliki Freeport pada saay ini.[20]
Beberapa organisasi telah melakukan
aksi simpati terhadap lingkungan dan masyarakat di Papua seperti OPIC dan
Yayasan Pensiunan di Norwegia yang memutuskan hubungan dengan Freeport. Namun
bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sepertinya terlarut dengan euphoria
globalisasi dimana untuk memajukan negara berkembang maka diperlukan pasar
bebas secara global yang telah diresepkan oleh IMF, Indonesia sepertinya
mentah-mentah menelan doktrin dari IMF. Bahkan salah seorang petinggi Indonesia
pernah mengatakan bahwa Indonesia mustahil untuk mengkaji atas kontrak karya
pertambangan yang sudah ditandatangani dengan beralasan bahwa takut dikucilkan
oleh para Investor Internasional.[21]
Statement tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selama ini menjadi negara yang
lemah karena Indonesia tidak dapat mengambil kebijakan yang tegas, akhirnya
lingkungan dan masyarakat dipaksa untuk mengorbankan yang dimilikinya akibat
sikap Indonesia yang lemah terhadap dunia Internasional. Bahkan pada zaman Orde
Baru pemerintah Indonesia dengan terang-terangan membela PT. Freeport Indonesia
untuk melakukan aktifitas eksploitasi alam di Papua, salah satunya pada tahun
1996 terjadi ketika sejumlah masyarakat warga suku Amugme melakukan aksi protes
terhadap sungai yang telah dicemarkan oleh PT. Freeport Indonesia, kemudian
Dirjen Pertambangan pada saat itu Kuntoro Mangunsubroto mengangap bahwa hal itu
bukan dikarenakan persoalan kerusakan lingkungan bahkan Pemerintah dengan
kekuatan militernya malah melindungi PT. Freeport Indonesia.[22]
Joseph E, Stiglitz, seorang ahli
ekonomi mengatakan bahwa liberalisasi modal, pasar keuangan tidak menjadi
sumber pertumbuhan ekonomi akan tetapi menjadi sumber masalah bagi
negara-negara berkembang, beliau juga mengatakan “Mereka (para perusahaan
tambang) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara
berkembang”. [23]
Oleh karena itu Indonesia harus keluar dari kesalahpahaman atas globalisasi dan
pemerintah seharusnya menganalisis kembali rekomendasi-rekomendasi yang
diberikan oleh 3 arsitek dunia (IMF,WorldBank, WTO) karena selama ini Indonesia
sepertinya pasrah dalam pemberian saran-saran yang berbau Winston Konsensus. Kembali
kepada Stiglitz, beliau mengatakan bahwa “ Sebaiknya eksplorasi migas di
Indonesia di Nasionalisasi”. Statement tersebut mengisyaratkan bahwa Indonesia
harus mengambil langkah besar dimana Migas dikelola dan dilaksanakan oleh
Perusahaan-perusahaan nasional agar SDA yang dimiliki Indonesia tidak
dimanfaatkan oleh perusahaan Internasional.
KESIMPULAN
Tidak dapat dielakkan lagi bahwa
euphoria globalisasi telah melanda di seluruh dunia bahkan Indonesia termasuk
dalam euphoria tersebut. Menurut 3 aktor globalisasi yaitu IMF, Worldbank dan WTO
bersepakat bahwa globalisasi adalah era dimana negara berkembang dapat
meningkatkan pertumbuhan perekonomian sehingga akan meningkatkan pembangunan, akan
tetapi beberapa para ekonom mengatakan bahwa globalisasi adalah permasalahan
yang melanda pada negara berkembang, hal ini pun tampak ketika masuknya PT.
Freeport Indonesia pada tahun 1967 dimana terganggunya ekosistem yang semakin
tereksploitasi, pencemaran di sekitar
lingkungan tambang. Keuntungan yang didapat dari PT. Freeport Indonesia bukan
semata-mata untuk kemakmuran rakyat Indonesia tetapi kekayaan tersebut untuk
negara luar. Indonesia hanya menikmati sedikit dari keuntungan yang di dapat
dari hasil SDA milik Indonesia hal ini tampak peringkat Papua Barat yang masih menduduki peringkat yang paling buncit
di antara Propinsi di Indonesia. Dengan kata lain daerah yang memiliki keayaan
alam melimpah malah menjadi bencana bagi
daerah itu sendiri.
Resep-resep dari 3 aktor globalisasi
yang berupa wujud Winston Konsensus, diantaranya liberalisasi, privatisasi dan
deregulasi telah merasuk ke Indonesia, pemerintah seakan-akan tidak berkutik
dan menerimanya secara tangan terbuka. Padahal resep tersebut merupakan resep
yang bertujuan untuk memakmurkan negara-negara Barat yang telah maju melalui globalisasi. Pemerintah Indonesia
yang telah berumur 67 tahun seharusnya telah belajar dari fenomena-fenomena
yang terjadi di negaranya, akan tetapi Indonesia sendiri seperti tutup mata dan
telinga, mengacuhkan apa yang telah dilakukan oleh Investor-investor asing
terhadap alam dan rakyat bumi pertiwi ini. Mungkin dapat belajat kembali dari
sejarah kemerdekaan Indonesia dimana pada saat itu Presiden Soekarno pernah mengucapkan
“Go to hell with your Aid” kepada negara-negara luar, statement tersebut
menandakan bahwa Presiden Soekarno tidak menginginkan Indonesia dapat
diintervensi atau di doktrin oleh negara-negara luar. Hal ini seharusnya dapat
dipelajari oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini bahwa jiwa nasionalisasi harus
ditanamkan kembali untuk melindungi bangsa ini dari investor-investor asing
yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mengambil kekayaan di negara ini
kemudian ruh dari ekonomi yaitu berazaskan kerakyatan harus di hidupkan kembali,
bukan ekonomi liberal yang efeknya memberikan kesejahteraan bagi negara-negara
luar.
[1] Situs resmi Negara di Indonesia,http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia
diunduh pada tanggal 26 September 2016 pukul 20.00 wit
[2] Indonesia-The World Factbook dalam id.Wikipedia.org diunduh pada tanggal
26 September
2016 pukul
20.015 wit
[3] Okezone. com tanggal 07
September 2016.http://economy.okezone.com/read/2011/09/07/320/499625/inilah-alasan-karyawan-freeport-gelar-demo-lagi
diunduh pada tanggal 26 Septemberr 2016 pukul 20.30 wit
[4] Held David, 2004, Demokrasi & Tatanan Global Dari Modern Hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[5] L. Friedman Thomas,2002, Memahami Globalisasi Lexus dan Pohon Zaitun, ITB,
Bandung.
[6] S, Jun Jong dan Deil S. Wright, 1996, Globalization &
Decentralization, Georgetown University Press, Washington, DC.
[8] PT. Freeport Indonesia. http://www.ptfi.com/about/default.asp
diunduh pada tanggal 26 September 2016
pukul 20.30 wit
[9] Fakih Mansour, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Insist Press, Yogyakarta.
[10]World Trade Organization. http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/who_we_are_e.htm
26 September 2016 pukul 20.30 wit
[11] International Monetary Fund. http://www.imf.org/external/np/exr/key/global.htm,
diunduh pada tanggal 26 September 2016
pukul 20.30 wit
[12]Worldbank.http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTABOUTUS/0,,contentMDK:23272496~pagePK:51123644~piPK:329829~theSitePK:29708,00.html
diunduh pada tanggal 26 September 2016
pukul 20.30 wit
[14] ibid
[15] Amiruddin & Aderito Jesus de Soares, 2003, Perjuangan Amungme:
Antara Freeport dan Militer, Elsam, 2003
[16] ibid
[17] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. http://walhi.or.id/id/home/48-publikasi/1613-laporan-dampak-operasi-pt-freeport-rio-tinto-publikasi-ulang-riset-walhi-2006.html
diunduh pada tanggal 27 November 2012 pukul 14.00 wib.
[19] Ibid.
[20] Amiruddin, dan Aderito Jesus de Soarez, 2003, Perjuangan Amungme:
Antara Freeport dan Militer, Jakarta, ELSAM
[21] Ibid
[22] Amiruddin, dan Aderito Jesus de Soarez, 2003, Perjuangan Amungme:
Antara Freeport dan Militer, Jakarta, ELSAM
Tidak ada komentar