Menghapuskan Berbagai Praktek Impunitas
Menghapuskan
Berbagai Praktek Impunitas
Salah satu tujuan didirikannya ICC
adalah untuk menghapuskan praktek impunitas (impunity). Pasal 28 Statuta
Roma secara rinci mengatur bahwa seorang atasan baik militer maupun sipil,
harus bertanggungjawab secara pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi
ICC yang dilakukan oleh anak buahnya. Aturan yang telah ada sejak Piagam
Nuremberg, Tokyo, Konvensi Jenewa 1949, ICTY, ICTR dan kemudian disempurnakan
dalam Pasal 28 Statuta Roma, memiliki tujuan untuk dapat menghukum “the most
responsible person” walaupun orang tersebut memiliki posisi sebagai
pemegang kekuasaan yang seringkali sulit terjangkau hukum. Pasal 28 Statuta
Roma telah diadopsi dalam pasal 42 Undang-Undang 26/2000 tentang Pengadilan
HAM, namun terdapat banyak kesalahan penterjemahan yang justru menjadi celah
bebasnya para atasan/komandan tersebut.[1]
Secara umum impunitas dipahami sebagai
“tindakan yang mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran (hak asasi
manusia)” atau dalam kepustakaan umum diartikan sebagai “absence of
punishment”. Dalam perkembangannya istilah impunity digunakan hampir
secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan suatu proses di mana
sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap berbagai
tindakan illegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan. Praktek impunitas
ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya adalah gagalnya
Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang
direkomendasikan oleh Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito
oleh Mahkamah Tokyo atas keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang
mengadili serdadu-serdadu rendah dengan hukuman yang ringan dan melawan hari
nurani
keadilan masyarakat.[2]
Praktek ini menunjukan bahwa setiap Negara selalu memiliki kecenderungan untuk
melindungi pelaku kejahatan yang merupakan warganegaranya sendiri apalagi
apabila pelaku tersebut merupakan orang yang memegang kekuasaan di Negara
tersebut. Fenomena ini menunjukkan betapa kepentingan politik dan ekonomi
jangka pendek masih dominan ketimbang penegakkan HAM dan keadilan.
Bagaimana impunity dalam konteks
Indonesia, terutama setelah jatuhnya rezim Soeharto? Peralihan kekuasaan
Soeharto ke Habibie menyisakan sejumlah catatan penting dalam penegakan HAM di
Indonesia. Meskipun Peradilan Militer dibentuk di masa Habibie untuk mengadili
sejumlah petinggi dan anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar, atas
kejahatan terhadap kemanusiaan dan penculikan orang secara paksa, tetapi tidak
pernah ada penjelasan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas
korban-korban penghilangan paksa yang belum kembali hingga saat ini. Peradilan
ini lebih kepada kompromi politik elit-elit politik dan militer, untuk tidak
menjatuhkan hukuman yang dinilai mampu mengakibatkan keguncangan dalam tubuh
militer. Sekaligus mencoba untuk berkompromi dengan korban-korban yang sudah
dilepaskan. Yang pasti peradilam militer kasus penculikan tersebut gagal untuk
memenuhi prinsip-prinsip keadilan.[3]
Kasus pembantaian Tengku Bantaqiyah dan
para santrinya di pesantren Babul Mikaramah, Beutong Ateuh, Aceh Barat pada
hari Jum’at 23 Juli 1999 juga merupakan salah satu kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan yang berakhir dengan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi korban.
Pembantaian dan pembunuhan keji itu dilakukan oleh sejumlah pasukan militer
yang dilatarbelakangi kesalahan prakiraan intelijen. Informasi Intelijen
menghasilkan hipotesa bahwa kegiatan Tengku Bantaqiyah dan pengikutnya telah
mengarah pada dilakukannya upaya pemberontakan bersenjata. Akibat kesalahan
laporan intelijen tersebut, dilakukanlah penggerebekan di lokasi kejadian yang
berakhir dengan terbunuhnya Tengku Bantaqiyah disertai pengikutnya (ada yang
ditembak di tempat, ada yang ditemukan
telah menjadi mayat di
jurang kedalaman 7-8 Km).[4]
Kasus yang diadili melalui Pengadilan koneksitas ini menjatuhkan sejumlah
hukuman terhadap aparat TNI dengan vonis bervariasi antara 8 tahun 6 bulan
sampai 10 tahun. Namun yang disayangkan dari kasus ini adalah kejahatan yang
terjadi hanya digolongkan sebagai kejahatan biasa sehingga hanya menggunakan
delik pidana umum, kemudian masih digunakannya pasal 51 KUHP dimana perintah
atasan dapat membebaskan pelaku dari hukuman[5],
dan adanya upaya rekayasa untuk menghilangkan Letkol Sudjono sebagai tersangka
utama perencanaan dan pelaksanaan operasi tersebut. Kasus Bantaqiyah di atas
jelas menjadi contoh tersendiri moralitas petinggi militer Indonesia saat ini.
Banyaknya prajurit bawahan yang menjadi kambing hitam memperlihatkan ada sistem
yang lebih besar yang dikendalikan oleh orang-orang yang berkuasa, dan
orang-orang inilah yang sulit tersentuh hukum.
Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor
Timur juga memperlihatkan indikasi adanya praktek impunitas.[6]Indikasi
ini telah terlihat sejak proses penyelidikan oleh KPP HAM selesai dan kemudian
diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilakukan penyidikan.[7]
Terdapat sekitar 100 tersangka (termasuk beberapa tersangka pelaku langsung)
yang diajukan oleh KPP HAM namun Jaksa Agung memutuskan untuk menyidik 18
tersangka yang terdiri dari 10 aparat militer, 5 polisi, 2 pejabat pemerintahan
dan 1 pemimpin milisi. Dua perwira tinggi militer yang termasuk dalam daftar
KPP HAM namun lolos untuk diadili dalam pengadilan ini adalah Jenderal Wiranto
dan Mayor Jenderal Zacky Makarim, sehingga perwira militer tertinggi yang
diadili adalah Mayor Jenderal Adam Damiri.
Hampir semua terdakwa yang diadili di
Pengadilan Timor Timur dibebaskan baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi maupun Mahkamah Agung. Hanya satu terdakwa yang perkaranya masih
berjalan di tingkat kasasi yakni Eurico Gutteres. Sebagian besar terdakwa
dituntut berdasarkan pasal 42 Undang-Undang 26/2000,
namun unsur-unsur
adanya tanggungjawab komando gagal dibuktikan di persidangan sehingga para pemimpin
militer dan sipil tersebut bebas dari pemidanaan. Hal ini disebabkan tuntutan
pidana yang diajukan oleh jaksa tidak pernah cukup maksimal dan terkesan
dipaksakan, serta substansi tuntutan tersebut tidak cukup bisa memperkuat surat
dakwaan dan terkesan dibuat seadanya.[8]Selain
itu tidak ada satu terdakwa pun yang ditahan ketika proses pengadilan dan tidak
ada satu perwira militer pun yang di non-aktifkan selama proses persidangan.
Bahkan Mayor Jenderal Adam Damiri diberikan tugas sebagai komandan di Aceh
selama persidangannya sehingga menyebabkan ditundanya proses persidangan
banding bagi dirinya.
Praktek Pengadilan HAM lainnya baik yang
Ad Hoc (untuk kasus Tanjung Priok) maupun permanen (untuk kasus Abepura yang
diadili melalui Pengadilan HAM Makassar) juga terbukti sulit untuk menjangkau
dan menghukum orang yang paling bertanggung jawab. Penyebab kegagalan tersebut
diantaranya adalah perangkat hukum HAM di Indonesia khususnya hukum acaranya
yang tidak memadai serta aparat penegak hukum yang dinilai kurang siap untuk
menghadapi kasus yang relatif baru bagi mereka.
Inilah tantangan bagi para penegak hukum
dan pemerintah untuk dapat menemukan celah-celah keadilan yang selama ini sulit
untuk ditembus oleh hukum. Dengan menjadi pihak dalam Statuta Roma menjadikan
Indonesia mau tidak mau harus membenahi aturan hukumnya khususnya dalam hal
menghapuskan rantai impunitas di negaranya sebagai komitmen keseriusan
Pemerintah Indonesia untuk memberikan jaminan perlindungan serta penegakkan HAM
terhadap warga negaranya.
[1]
Uraian
rinci tentang kesalahan penterjemahan pasal 42 tersebut dapat dilihat dalam Bab
I Sub Bab ii. Mengatasi kelemahan sistem hukum di Indonesia tentang
Undang-undang 26/2000, p.13-14.
[2]
Abdul
Hakim G Nusantara, Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando
Dalam Pelanggaran Berat HAM, Jurnal HAM Komisi Nasional HAM Vol.2
No.2, November 2004, p.viii
[3]
Daniel
Hutagalung, Negara dan Pelanggaran Masa Lalu: Tuntutan Pertanggungjawaban
Versus Impunitas diambil dari Dignitas: Jurnal HAM ELSAM, Hak
untuk Menentukan Nasib Sendiri, Volume III No.1, 2005, p. 230-231.
[4]
Amran
Zamzani, Tragedi Anak Bangsa: Pembantaian Tengku Bantaqiyah dan
Santri-Santrinya, Bina Rena Pariwara, Jakarta,2001, p. 17, 117-119.
[5]
Pasal 51
KUHP berbunyi : “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang merupakan perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum”
[6]
Pengadilan
ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 53/2001 dengan yurisdiksi
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di wilayah Timor Timur setelah jajak
pendapat tahun 1999. Keputusan Presiden ini kemudian direvisi melalui Keputusan
Presiden No.96/2001, yang membatasi yurisdiksi rationae loci dari
Pengadilan yakni hanya kepada 3 kabupaten dari 13 kabupaten di Timor Timur
(Liquica, Dili, dan Suai), namun memperluas rationae temporis dari
Pengadilan yakni bulan April dan September 1999.
Tidak ada komentar