Breaking News

Urgensi Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasional



Urgensi Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasional

Sistem hukum internasional modern merupakan suatu produk,kasarnya dari empat ratus tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi mereka.[1]
Abad ini telah menjadi sanksi adanya dorongan yang besar bagi perkembangan hukum internasional di banding dengan yang terjadi pada tahap sebelumnya dari sejarah hukum internasional ini.hal tersebut merupakan akibat wajar dari berkembanya interdependensi negara-negara dan peningkatan pesat hubungan-hubungan antar negara negara karena berbagai macam penemuan yang di tunjukan guna menagulangi kesulitan-kesulitan menyangkut waktu,ruang dan komunikasi.[2]
Hukum internasional sendiri berkembang sangat pesat setelah berakhirnya perang dunia ke II dengan tujuan utama untuk mengadili para penjahat perang nazi seperti Herman Goring, Heinric himler dan beberapa penjahat nazi lainya lewat Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg yang di bentuk oleh sekutu sebagai pemenang perang antara lain Amerika Serikat,Uni Soviet, Inggris dan Perancis selain itu sekutu juga mendirikan Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah yang didirikan untuk mengadili penjahat perang
Pengadilan ini sendiri memiliki tujuan untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang di lakukan oleh para pejabat serta jendral perang nazi dan jepang yang terjadi di negara-negara yang di duduki oleh nazi dan jepang lewat kejadian yang kita kenal sebagai holocaust yaitu suatu pemusnahan besar-besaran kaum yahudi oleh nazi dan perbudakan oleh pihak jepang.
Dengan demikian,Konsepsi negara-negara Barat dari semula telah medominasi pemikiran negara-negara yang tergabung dalam PBB waktu mereka,seusai perang dunia ke II (1942-1945) yang amat dahsyat itu,ingin merumuskan suatu dokumen hak asasi manusia yang dapat di terima secara universal.[3]
Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di Negara bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis yang kekejamannya sudah mencapai tingkat yang tidak pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi, perkosaan yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) dengan pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran terhadap hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.
Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka dan hanya menjadi alat bagi negara-negara adikuasa seperti halnya amerika serikat untuk memuluskan langkah politiknya dalam politik negara lain di sisi lain pembentukan ICTY jauh dari objektifitas hukum karena yang mengadili adalah negara-negara yang memiliki kepentingan di negara tersebut sebagai akibat belum adanya hukum internasional atau peraturan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Indonesia sendiri telah mengalami berbagai macam pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965, Semanggi I, Semanggi II, Tragedi Trisakti, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok, Penembak Misterius, Penculikan Aktivis 1998, Kasus-Kasus di Papua dan Aceh, Timor Leste yang membuat kejadian-kejadian tersebut merubah perspektif dan paradigma masyarakat tentang perlindungan dan pertanggungjawaban penyelesain peristiwa pelanggaran HAM akan tetapi dengan banyaknya korban jiwa tidak membuat banyak pelaku pelanggar HAM dapat di seret di pengadilan sebagai akibat masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia.
Masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia sebagai akibat belum terlaksananya secara maksimal Asas Pertanggungjawaban Komando biasanya dalam penaganan kasus pelanggaran HAM serta penyelesainya hanya fokus kepada pelaku yang melakukan pelanggaran secara langsung atau fisik akan tetapi para pejabat terkait dan atasan mereka tidak di bebankan pelanggaran HAM walaupun mereka tidak melakukan secara fisik tetapi mereka mengetahui dan ikut memerintahkan karena hal tidak mungkin seorang prajurit melakukan suatu operasi tanpa sepengatahuan atau perintah dari atasan.
Dalam perkembanganya sebagai akibat belum adanya suatu peraturan Mengenai Hak Asasi Manusia secara universal akhirnya PBB berinisiatif untuk membentuk suatu peraturan dan pembentukan lembaga permanen yang mengadili tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk supermasi hukum dan keadilan dalam penaganan Kasus pelanggaran HAM.
Pada 17 Juli 1998, 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court menyetujui dibentuknya International Criminal Court (ICC) yang diadopsi dari Statuta Roma tersebut.Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court) merupakan sebuah lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-negara internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar menurut hukum internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.[4]
Statuta Roma menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen dalam penegakan pelanggaran HAM belum melakukan Ratifikasi Statuta Roma padahal hal ini telah tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 – 2009[5] dan remhamnas 2009-2014[6], akan tetapi Ratifikasi masih belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam pasal 28 I ayat 4 dinyatakan:“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”[7]
Dalam hal ini sudah sangat jelas negara harus berperan aktif dalam melindungi warga Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.[8] Pengadilan ini bersifat ad hoc (sementara) dan mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau. Namun jika di lihat dari fakta di lapangan banyak pelaku pelanggaran HAM berat tidak pernah di periksa akibatnya timbulnya Impunitas terhadap pelaku Pelanggaran HAM padahal pelanggaran HAM Bukan hanya mengenai kontak fisik tetapi ada pula asas Pertanggujawan Komando yang sangat efektif dalam menjerat para pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia.



[1] J.G.Starke,Pengantar Hukum Internnasional,(Jakarta:,Sinar Grafika 2010),Hal 8
[2] Ibid.hlm 17
[3] Prof.Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik,(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama 2008),Hal 211
[4]Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, KERTAS KERJA: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008
[5] Lihat Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
[6] Lihat Peraturan Presiden 23 tahun 2011.
[7] Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 28 I ayat 4.
[8] Lihat  Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.

Tidak ada komentar