Pemberian Remisi Bagi Koruptor
PEMBERIAN REMISI BAGI KORUPTOR
Korupsi
merupakan salah satu masalah darurat yang sedang melanda negeri ini. Betapa
tidak, kejahatan yang telah masuk dalam kejahatan luar biasa ini (Extra Ordinary Crime) saat ini tidak
pandang bulu lagi, bisa dilakukan laki-laki atau wanita, bisa pimpinan atau
bawahan, bisa pejabat negara atau pejabat daerah, dan bahkan tidak hanya
kalangan eksekutif atau legislatif, tetapi yudikatif pun yang merupakan salah
satu unsur yang diharapkan untuk memberantas korupsi juga telah tertular
penyakit korup ini. Makin masifnya tindak pidana korupsi di Indonesia tentu
sangat berpengaruh pada kehidupan secara umum berbangsa dan bernegara kita,
mulai dari aspek Sosial, Budaya, Ekonomi, Politik.
Korupsi
telah mengakar dalam negara Indonesia, sejak zaman kerajaan, zaman penjajahan,
hingga era reformasi saat ini korupsi masih tetap tumbuh-subur di Indonesia. Setiap
pemerintahan yang pernah memimpin Indonesia memiliki berbagai macam jurus untuk
memberantas korupsi di bumi khatulistiwa ini, mulai dari upaya preventif berupa pencegahan hingga upaya
represif berupa penindakan. Hingga saat ini Indonesia telah memiliki berbagai
peraturan yang mengatur tindak pidana korupsi ini, antara lain Tap MPR XI tahun
1980, kemudian Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 20 tahun 2001
tentang perubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling berpengaruh
dan mendasar terkait pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang
Negara Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemudian ditambah lagi beberapa Peraturan
pemerintah (PP), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPUU),
Instruksi Presiden (INPRES), dan Keputusan Presdien (KEPRES).
Di kalangan masyarakat telah banyak berdiri
berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti korupsi, salah satu diantaranya
adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Hal ini merupakan wujud kepedulian
dan respon terhadap masyarakat terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi
gerakan nasional. Selayaknya dengan sederet peraturan terkait korupsi di atas,
dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan setiap insan
pribadi Indonesia menjauhi diri dari tindak pidana korupsi ini. Akan tetapi,
harapan tentu tidak akan selamanya sejalan dengan kenyataan. Bak jauh panggang
dari api, meski telah berbagai upaya dilakukan, perilaku korupsi tetaplah
tumbuh subur di Indonesia.
Salah satu hal yang mengusik kehidupan masyrakat
Indonesia saat ini adalah wacana yang dilontarkan oleh Kementrian Hukum dan HAM
Republik Indonesia (KEMENKUMHAM RI) dibawah pimpinan Yasonna
H Laoly yakni perubahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012
mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Seketika
hal ini menjadi topik perbincangan yang aktual disetiap lini masyarakat
Indonesia. pro-kontrapun terjadi di masyarakat, berbagai kalangan sepakat
dengan wacana tersebut, akan tetapi tidak sedikit pula kalangan yang menolak
wacana dari politikus yang berasal dari partai penguasa ini.
Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 merupakan salah satu dasar hukum terkait
korupsi yang lahir di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. PP
ini adalah bentuk pengetatan terhadap pemberian remisi bagi terpidana korupsi
agar remisi/pengurangan masa tahan tidak diberikan secara obral bari para
koruptor. Secara garis besar PP ini lahir untuk memberikan pengurangan masa
tahanan kepada para terpidana korupsi yang berkelakuan baik, bersedia
bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi yang
dilakukannya, serta membayar lunas denda atau uang pengganti yang dijatuhkan
kepadanya.
Pro-kontra
terkait peraturan ini sangatlah wajar terjadi, karena beberapa pihak
berpandangan bahwa PP ini merupakan salah satu bentuk pembatasan hak yang selayaknya
diberikan kepada semua narapidana, akan tetapi terdapat pengecualian terhadap
narapidana korupsi. Disisi lain tidak sedikit pihak yang berpandangan bahwa
revisi ini akan mengusik rasa keadilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia
yang berpandangan bahwa koruptor tidaklah seharusnya diberikan remisi. Akan
tetapi sebaliknya, malah diperberat hukumannya agar supaya mendapat efek jera.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjaun Filosofis-Teoritis
a. Tinjauan Filosofis
Mengenai remisi telah diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia
No. 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak warga
Binaan Pemasyarakatan, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174
Tahun 1999 Tentang Remisi. Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang
diberikan kepada narapidana dan anak pidanan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentuakan dalam peraturan perundang-undangan.[1]
Dalam pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012 dijelaskan bahwa:
(1) setiap narapidana dan anak pidana ber hak mendapatkan remisi;
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
(a).
Berkelakuan baik;
(b). Telah
menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Remisi terbagi dalam tiga jenis remisi yakni :
1) Remisi Umum
Remisi umum adalah remisi yang
diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang
jatuh setiap tanggal 17 Agustus.[2]
2) Remisi
Khusus
Remisi Khusus merupakan remisi yang diberikan pada
hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang
bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari
besar keagamaa dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang
dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan.
3) Remisi
Tambahan
Remisi tambahan adalah akan diberikan kepada
narapidana dan anak pidana secara bersamaan dengan pemberian remisi umum,
dengan catatan selama menjalani pidana yang bersangkutan[3]:
·
Berbuat jasa kepada Negara;
·
Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau
kemanusiaan;
·
Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan
di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka kerja / PK.
Predikat tersebut diakui dan diputuskan oleh TPP dan
disetujui oleh Kepala. Kanwil dengan diterbitkannya Surat Keputusan (SK).
Besaran Remisi Tambahan yang diberikan kepada setiap
warga binaan adalah[4]:
·
½ (satu per dua) dari remisi umum yang diperoleh pada
tahun yang bersangkutan bagi narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa
kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau
kemanusiaan; dan
·
1/3 (satu per tiga) dari remisi umum yang diperoleh
pada tahun yang bersangkutan bagi narapidana dan anak pidana yang telah
melakukan perbuatan yang membantu kegiatan di Lembaga pemasyarakatan sebagai
pemuka.
b.
Tinjauan
Teoritis
John Rawls yang dipandang sebagai
perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social
institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah
memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.[5]
Secara spesifik, John Rawls
mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan
sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asali” (original
position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).[6] Pandangan Rawls ini memposisikan
adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam
masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih
tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya
dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu
“posisi asli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan
didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).
Menurut Kahar Masyhur terdapat tigal hal tentang pengertian adil,
yakni: [7]
(1) “Adil” ialah : meletakan sesuatu
pada tempatnya.
(2) “Adil” ialah
: menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.
(3) “Adil” ialah
: memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang
antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat
atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.
Untuk lebih
lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat
diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah
pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada
pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya
apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak
hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak
pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki
hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri
individu.[8]
B.
Tinjauan Yuridis dan Hukum Positif Yang
Berlaku di Indonesia
1. Pancasila
Narapidana
adalah seseorang yang telah melakukan kejahatan dan telah menjalani persidangan,
telah di vonis hukuman pidana dan di tempatkan dalam suatau tempat atau
penjara. Kedudukan narapidana sama kedudukannya seperti orang lain yang bukan
narapidanan yang sama-sama merupakan rakyat Negara Indoneisa. Terkait dengan
pemberian remisi bagi para koruptor ini adalah hal yang wajar di dalam konsep
negara hukum, karena pada dasarnya pemberian remisi merupakan hak konstusional
yang harus diberikan oleh negara untuk setiap warga negara Indonesia, Pancasila
yang merupakan ideologi bangsa, serta sebagai Pandangan hidup bangsa indonesia
telah mengatur hak konstusional tiap-tiap warga negara dimana pada sila ke-2 “kemanusian yang adil dan beradab”, yang
dalam butir pancasila menyebutkan mengakui dan menghormati persamaan derajat
,persamaan hak,dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedabedakan, artinya Pancasila telah
mengkehendaki bahwa pemberian remisi bagi koruptor merupakan hak kostitusional
tiap-tiap warga negara, yang telah di lindungi, dan negara wajib untuk menjalankan hal tersebut, sehingga tidak ada
salahnya ketika
narapidana korupsi mendapatkan remisi
sebagai wujud
dari hak konstisional.
Akan
tetapi, disisi lain dengan adanya
pemberian
remisi
bagi terpida korupsi justru
akan menimbulkan
adanya pertantangan
keadilan
pada rakyat
Indonesia, karena pada dasarnya
Keadilan untuk
setiap
rakyat
Indonesia
telah
ditegaskan Pada
Sila Ke-5 “Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”,
dimana salah satu butir Pancasila menjelaskan bahwa
Keadilan sosial merupakan hasil dari kehidupan berbangsa dan
bernegara yang dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, dan kepemimpinan yang penuh hikmat kebijaksanaan. Ini merupakan Sebuah pembuktian bahwa ketika
remisi tetap di berikan bagi narapidana korupsi
justru hal ini akan mencederai nilai keadilan yang pada dasarnya merupakan
impian seluruh rakyat Indonesia sebagai
wujud dari persatuan, di mana di satu sisi masi banyak kasus pidana yang dapat serta perlu di
berikan remisi tetapi pemerintah justru memberikan kepada koruptor yang jelas-jelas
sangat merugikan dan mengganggu perkonomian negara.
2.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Secara konstitusi dalam
Undang-undang dasar Negara republik Indonesia telah, mengamanatkan pada
Pasal 1 Ayat (3) “Negara Indonesia adalah Negara hukum”,
artinya bahwa semua urusan ketatanegaraan harus sejalan dengan konsep Negara
hukum yang demokratis, sehinga menempatkan hukum sebagain jenderal di dalam
mengatur urusan negara untuk menciptakan keadilan hukum yang sebenarnya. Bukankah
hukuman bagi para koruptor merupakan sanksi yang harus di jalani sebagai akibat
karena telah melanggar hukum. Akan tetapi, disisi lain pemerintah justru
memberikan remisi kepada koruptor yang pada hakikatnya tindak pidana korupsi
adalah perbuatan pidana luar biasa yang mampu merusak tatanan hukum di Indonesia, ini akan
mengambarkan adanya bentuk keistimewaan bagi para koruptor sebagi wujud dari
kongkalikong berbagai macam kepentingan, sehingga akan mengurangi kepercayaan
rakyat terhadap sistem hukum di Indonesia.
Bak
dua mata koin, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengamanatkan bahwa setiap warga negara memiliki hak
dan Kedudukan yang
sama di dalam
konsep
negara
hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) “segala warga Negara bersamaan kedudukanya di Dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”. Ini artinya, negara telah melindungi adanyan kesamaan hak dan
kedudukan tiap warga negara tanpa membedabedakan status, golongan orang tersebut,
sekalipun orang tersebut sebagai koruptor tetap memiliki hak mendapatkan remisi,
sehingga hal ini sejalan dengan asas Equality Befor The Law, artinya
semua
orang
sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Selanjutnya hal ini diatur dalam pasal 28 D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”, serta lebih lanjut di atur dalam Pasal 28 H ayat (2) “Setiap Orang berhak mendapatkan kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”, hal ini merupakan sebuah pembuktian bahwa Konstitusi kita melindungi
dan menghargai
hak Konstusional
tiap-tiap warga negara tanpa tekecuali narapidana korupsi.
3. Peraturan-Perundang-Undangan
Lain
Pemberian remisi bagi terpidana korupsi telah di atur dalam Undang-Undang
Negara Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.Pasal 14 ayat (1) “Narapidana Berahak Mendapatkan Pengurangan
Masa Pidana (Remisi). Sehingga persoalan remisi untuk koruptor bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan lagi, karena tidak ada satupun Peraturan Perundang-undangan yang melarang hal ini. Ini dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi setia terpidana korupsi. Selanjutnya untuk melaksanakan pemberian remisi bagi terpidana korupsi, teknisnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dimana Pada Pasal 34
ayat (3) mengatur bahwa remisi baru
dapat diberikan setelah menjalani 2/3
(satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk
terpidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara,
kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional
terorganisasi lainnya. Sehingga garis
besar bahwa pemberian remisi bagi terpidana korupsi adalah hal yang telah jelas-jelas
diatur dalam peraturan Perundang-undangan dan tidak perlu di permasalahkan
lagi.
C.
Tinjauan
Empiris dan Dinamika Ketatanegaraan Indonesia.
Remisi atau
pengurangan masa tahanan bagi terpidana korupsi seharusnya memang diberikan
kepada seluruh narapidana, tanpa memandang dan memilah jenis dan bagaimana
pidana yang dilakukan oleh terpidana. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang
Pemasyarakatan. Sebelum masuk di tahun 2012, pemberian remisi bagi terpidana
diatur dalam Peraturan Pemerintah No 28. Tahun 2009 tentang perubahan Peraturan
Pemerintah No.32 Tahun 1999 tentang syarat dan tatacara pelaksanaan hak Warga
Binaan Pemasyarakatan. Impilikasinya dilapangan menjelang saat-saat tertentu,
semisal Hari Besar Keagamaan dan peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia
setiap tanggal 17 Agustus setiap terpidana korupsi selalu sumringah, sebab bagi
terpidana yang telah menjalani dua pertiga masa hukuman akan mendapat remisi yang diberikan oleh Kementerian Hukum
dan HAM.
Pemberian remisi
diberikan sebagi bentuk pembinaan bagi terpidana yang telah menjalani dua
pertiga masa tahanan serta berkelakuan baik. Sebab, terpidana korupsi merupakan
juga sama seperti terpidana yang lain yang merupakan warga Negara Indonesia
yang berhak mendapat pengampunan berupa peringanan hukuman dari Negara. Lembaga
pemasyarakatanpun yang merupakan tempat terpidana menjalani masa hukumannya
seharusnya merupakan tempat pembinaan bagi warga binaan yang notabennya
merupakan terpidana yang menjalani masa hukumannya.
Peringatan Hari
Ulang Tahun RI ke-65 Tahun 2010 merupakan salah rujukan dimana setiap terpidana
korupsi juga mendapat pengurangan masa tahanan sama seperti terpidana yang
lain. Sebanyak 330 Terpidana kasus korupsi termasuk diantara 58.234 narapidana
yang mendapat remisi, bahkan 11 diantaranya langsung bebas setelah masa
penjaranya dikurangi.[9] Di
tahun selanjutnya, pada peringatan yang sama hari ulang tahun RI tahun 2011
koruptor yang menerima remisi sejumlah 600 orang.[10] Remisi ini merupakan salah satu bentuk
pemerintah untuk membina warga binaan dengan memberikan insentif agar di nama
mereka bisa pulih serta terterima kembali dilingkungan masyarakat. Reward berupa pengurangan masa tahanan
ini adalah salah satu indikasi bahwa tidak ada perlakuan diskriminasi dari
Negara untuk semua warga binaan, walaupun tidak sedikit pihak yang menyayangkan
dikeluarkannya hal tersebut.
Setelah memasuki
era tahun 2012, pemerintah memalui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012 tentang perubahan Peraturan
Pemerintah No.28 Tahun 2009 tentang syarat dan tatacara pelaksanaan hak Warga
Binaan Pemasyarakatan. PP ini secara garis besar mengamanatkan bahwa ada
pembedaan perlakuan bagi terpidana yang melakukan kasus korupsi. Korupsi
merupakan salah satu kejahatan yang luar biasa, jadi penanganan dan
penghukumannyapun haruslah luar biasa. Hal ini disebabkan karena koruptor
merupakan pencuri uang negara yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Banyak pihak
yang sangat sepakat produk hukum yang dikeluarkan di era Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II ini. Sebab, rasa keadilan yang dirasakan masyarakat telah
terwakili oleh pengetatan pemberian pengurangan masa tahanan pada koruptor ini.
Aturan ini telah mengkomodasi semangat pemberantasan korupsi di Indonesia yang
gencar-gencarnya digaungkan serta hal ini tentu tidak akan mengecewakan para
penegak hukum termasuk KPK yang banyak berperan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia. Sejak keluarnya PP tersebut terdapat disparitas yang sangat jelas
terkait total terpidanan koruptor yang mendapat remisi. Pada 2012 sebanyak 582
koruptor menerima pengampunan. Pada Lebaran tahun ini penerima remisi khusus
tersebut menyusut menjadi 182 narapidana. Penerima makin sedikit karena syarat
mendapat remisi lebih sulit.[11]
Dari rilis data
KPK tersebut, sangatlah terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara rentan
waktu sebelum keluarnya PP 99 tahun 2012 dan setelah keluarnya PP tersebut. Ini
menandakan bahwa pengetatan pemberian remisi bagi koruptor sudah sangat baik
dijalankan oleh KEMENKUMHAM sendiri. Keterwakilan dari suara masyarakat yang
menginginkan hukuman maksimal terhadap koruptor yang telah merusak jati diri
Negara telah diaminkan oleh PP tersebut.
Seharusnya PP
ini dijalankan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Sebab banyak hal yang
berimpilikasi terkait PP tersebut, bukan hanya terpidana Korupsi dan
keluarganya, bahkan masyarakat secara luaspun dapat mearasakan implikasi PP
tersbut walaupun tidak secara langsung. Namun, hal yang berbanding terbalik
adalah ketika era pimpinan Negara berganti maka program pemerintahan pula ikut
berubah. Di era SBY pengetatan remisi korupsi dilakukan, diera Jokowi remisi
seolah-olah diberikan secara koheren, bahkan akan merevisi PP 99 tahun 2012
tesebut walaupun baru berumur jagung. Sebelum wacana revisi tersebut, bahkan
hak istimewa bagi terpidana korupsi telah dimulai sejak akhir 2014 dimana
Menkumham Yasona H.Laoly mengatakana tidak akan memberikan remisi natal, disisi
lain Ditjen Pemasyarakatan mengeluarkan remisi bagi 49 terpinda korupsi.[12]
Hal ini tentu tidak akan sejalan konsistensi dan komitmen presiden Joko Widodo
dalam nawacitanya. Prinsip keadilan yang seharusnya juga dirasakan oleh semua
warga binaan tanpa terkecuali warga binaan kasus korupsi dirasa hanya menjadi
konsumsi privat elit-elit yang terjerat korupsi dan tidak dirasakan secara
menyeluruh oleh seluruh warga Indonesia, semisal nenek Asyani yang terjerat
kasus pencurian. Ini tentu merupakan langkah mudur dari program pemerintahan yang mengagung-agungkan
pemberantasan korupsi di bumi pertiwi tercinta ini.
Walaupun
pemberian remisi telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia serta sejalan dengan konferensi Internasional sesuai pandangan dari
Guru besar hukum Universitas Padjajaran. Akan tetapi, jika remisi ini tetap
dilakukan, maka hati nurani takyat Indonesia tercederai dan tentu akan
menimbulkan dinamika ketatanegaraan yang sangat massif di Indonesia. Jika hal
ini memang tetap terjadi, maka Indonesia merupakan negara yang tidak konsekuen
dan konsisten memberantas korupsi. Di Brasil saja mulai mengalami peningkatan
pemberantasan korupsinya dimana koruptor dijatuhi hukum yang lebih berat dan
tidak ada peringan selama di penjara, bahkan yang lebih berat di china dimana
para pelaku korupsi akan mendapat hukuman mati. Sudah sangat pasti hampir
keseluruhan rakyat Indonesia sangat mendambakan hukum yang tajam ke atas bak
mata pisau bukan malah sebaliknya menjadi tumpul kebawah seperti golok.
Cita-cita keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia pun akan terwujud secara
seluruhnya.
BAB III
PENUTUP
Sesuai dengan amanat
Konstitusi bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang semua
urusan Negara harus sejalan dengan
konsep Negara hukum yang demokratis, sehinga menempatkan hukum sebagain
jenderal di dalam mengatur urusan negara untuk menciptakan keadilan hukum yang
sebenarnya, hal ini di maksudkan agar keadilan yang sebenarnya dapat terpenuhi
secara maksimal, di mana keadilan yang menurut . John Rawls yang dipandang sebagai
perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social
institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah
memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.
Remisi atau pengurangan
masa tahanan bagi terpidana korupsi seharusnya memang diberikan kepada seluruh
narapidana, tanpa memandang dan memilah jenis dan bagaimana pidana yang
dilakukan oleh terpidana. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan
yang mengkehendaki bahwa pemberian remisi bagi terpidana korupsi bukan hal yang
perlu di permasalahkan karna hal ini telah di atur di dalam hukum positif
Indonesia atau telah di atur di dalam perturan perundang-undanagn tanpa ada
satu peraturan perundang-undangan yang
melarang hal ini.
Walaupun pemberian remisi telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia serta sejalan dengan
konferensi Internasional sesuai pandangan dari Guru besar hukum Universitas
Padjajaran. Akan tetapi, jika remisi ini tetap dilakukan, maka hati nurani
takyat Indonesia tercederai dan tentu akan menimbulkan dinamika ketatanegaraan
yang sangat massif di Indonesia. Jika hal ini memang tetap terjadi, maka
Indonesia merupakan Negara yang tidak konsekuan dan konsisten memberantas
korupsi.perbandinganya dengan Negara-negara lainya adalah Dimana di Brasil
untuk terpidana Korupsi justru dijatuhi hukum yang lebih berat dan tidak ada
peringan selama di Penjara, bahkan yang lebih berat di china dimana para pelaku
korupsi akan mendapat hukuman mati.tetapi di Indonesia justru di berikan remisi
oleh pemerintah dengan dalil bahwa ini merupakan hak konstitusional tiap warga
negara.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Kahar,
Mansyur, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, 1985.
Suhrawardi
K. Lunis, Etika Profesi Hukum
(Cetakan Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
B.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Negara Republik
Indonesia No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006
Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan
Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
C.
INTERNET
Koran-sindo.com
kpk.go.id
News.detik.com
Viva.co.id
[1] Pasal 1 angka (6) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakatan.
[6]Ibid.
[7]Mansyur. Kahar, Membina
Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, 1985, hlm.71.
[8]Lunis,
Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum
(Cetakan Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 50.
[9] Viva.co.id (Di akses tanggal 20
April 2015, pukul 10.00 WITA)
[10] News.detik.com, ((Di akses
tanggal 20 April 2015, pukul 11.35 WITA))
[11] kpk.go.id, (Di akses tanggal 20
April 2015, pukul 15.00 WITA)
[12] Koran-sindo.com, (Di akses
tanggal 20 April 2015, pukul 19.30 WITA)
Saya setuju dengan pemberian remisi bagi para koruptor karena menurut saya Pemberian remisi bagi para koruptor adalah hal yang sangat rasional,dan sebagai bentuk perwujudan konsistensi terhadap fungsi hukum itu sendiri. Bukankah dalam hukum kita mengenal fungsi represif dimana hukum berfungsi untuk mendidik, maka dari itu hukum berfungsi untuk mendidik para warga negara mejadi pribadi yang baik khususnya bagi para terpidana. Pemberian remisi bagi para koruptor merupakan salah satu bentuk pembinaan/didikan kepada mereka agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak menjadi sampah masyarakat di kemudian hari. Hal ini pun diamini oleh teori hukum progresif dimana hukum ada untuk masyarakat bukan sebaliknya. Mengutip kalimat dari artikel diatas bahwa Seorang terpidana memiliki kesamaan dengan bukan terpidana yaitu sama-sama warga negara indonesia, maka dari itu hukum di Indonesia ada bukan untuk menyakiti/menyiksa para terpidana tetapi hukum di Indonesia ada untuk mendidik dan mengayomi seluruh masyarakat Indonesia (termasuk para terpidana).
BalasHapusKarena itulah saya mengatakan bahwa pemberian remisi bagi para koruptor merupakan perwujudan konsistensi terhadap fungsi hukum itu sendiri.