Breaking News

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Abad ini telah menjadi saksi adanya dorongan yang besar bagi perkembangan hukum internasional di banding dengan yang terjadi pada tahap sebelumnya dari sejarah hukum internasional ini.hal tersebut merupakan akibat wajar dari berkembanya interdependensi negara-negara dan peningkatan pesat hubungan-hubungan antar negara negara karena berbagai macam penemuan yang di tunjukan guna menagulangi kesulitan-kesulitan menyangkut waktu,ruang dan komunikasi.[1]
Sistem hukum internasional modern merupakan suatu produk,kasarnya dari empat ratus tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi mereka.[2]
Hukum internasional sendiri berkembang sangat pesat setelah berakhirnya perang dunia ke II dengan tujuan utama untuk mengadili para penjahat perang nazi seperti Herman Goring, Heinric himler dan beberapa penjahat nazi lainya lewat Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg yang di bentuk oleh sekutu sebagai pemenang perang antara lain Amerika Serikat,Uni Soviet, Inggris dan Perancis selain itu sekutu juga mendirikan Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah yang didirikan untuk mengadili penjahat perang
Pengadilan ini sendiri memiliki tujuan untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang di lakukan oleh para pejabat serta jendral perang nazi dan jepang yang terjadi di negara-negara yang di duduki oleh nazi dan jepang lewat kejadian yang kita kenal sebagai holocaust yaitu suatu pemusnahan besar-besaran kaum yahudi oleh nazi dan perbudakan oleh pihak jepang.
Konsepsi negara-negara Barat dari semula telah medominasi pemikiran negara-negara yang tergabung dalam PBB waktu mereka,seusai perang dunia ke II (1942-1945) yang amat dahsyat itu,ingin merumuskan suatu dokumen hak asasi manusia yang dapat di terima secara universal.[3]
Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di Negara bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis yang kekejamannya sudah mencapai tingkat yang tidak pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi, perkosaan yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) dengan pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran terhadap hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.[4]
Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka dan hanya menjadi alat bagi negara-negara adikuasa seperti halnya Amerika Serikat untuk memuluskan langkah politiknya dalam politik negara lain di sisi lain pembentukan ICTY jauh dari objektifitas hukum karena yang mengadili adalah negara-negara yang memiliki kepentingan di negara tersebut sebagai akibat belum adanya hukum internasional atau peraturan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Indonesia sendiri telah mengalami berbagai macam pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965, Semanggi I, Semanggi II, Tragedi Trisakti, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok, Penembak Misterius, Penculikan Aktivis 1998, Kasus-Kasus di Papua dan Aceh, Timor Leste yang membuat kejadian-kejadian tersebut merubah perspektif dan paradigma masyarakat tentang perlindungan dan pertanggungjawaban penyelesain peristiwa pelanggaran HAM akan tetapi dengan banyaknya korban jiwa tidak membuat banyak pelaku pelanggar HAM dapat di seret di pengadilan sebagai akibat masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia.
Kasus Semanggi merupakan salah satu kasus dimana terjadi suatu pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kalangan militer yang melakukan penyerangan terhadap mahasiswa dengan peluru tajam dalam hal ini milter telah melakukan Kejahatan Terhadap Kemanusia dan dapat diadili dengan Asas Pertanggungjawaban Komando.
Peristiwa Semanggi I. Mahasiswa berdemonstrasi untuk menolak sidang istimewa yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi. Delapan belas orang meninggal karena ditembak aparat, lima orang diantaranya adalah mahasiswa, yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo dan BR Norma Irmawan. Korban yang luka-luka sebanyak 109 orang, baik masyarakat maupun pelajar. [5]
Peristiwa Semanggi II. Mahasiswa berdemonstrasi merespon rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, karena dianggap bersifat otoriter tak jauh dari UU Subversif. Aparat keamanan kembali melakukan penembakan kepada mahasiswa, relawan kemanusiaan, tim medis dan masyarakan yang menimbulkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta, salah satunya adalah Yap Yun Hap di bilangan Semanggi Jakarta. Korban luka-luka mencapai 217 orang. Represifitas aparat juga diberlakukan kepada mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia, tiga orang mahasiswa diantaranya, yaitu Yusuf Rizal (mahasiswa Bandar Lampung) dan Saidatul Fitira (mahasiswadi Lampung) serta Meyer Ardiansah (mahasiswa IBA Palembang).[6]
Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus.[7]
Pemerintah dalam hal ini DPR tidak mempunyai tujuan baik dalam penyelesain kasus semanggi dimana DPR sebagai wakil rakyat tidak memberikan suatu keadilan bagi penyelesain kasus semanggi yang membuat impunitas yang ada di Indonesia semakin menggurita dan pelaku pelanggaran HAM berat tetap bebas dan tidak di adili di depan Pengadilan karena Indonesia harus lebih proaktif dalam penegakan hukum dengan salah satunya dapat mengadopsi atau meratifikasi instrumen hukum tentang penegakan HAM di Indonesia salah satunya ialah Statuta Roma tahun 1998.
Masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia sebagai akibat belum terlaksananya secara maksimal Asas Pertanggungjawaban Komando biasanya dalam penaganan kasus pelanggaran HAM serta penyelesainya hanya fokus kepada pelaku yang melakukan pelanggaran secara langsung atau fisik akan tetapi para pejabat terkait dan atasan mereka tidak di bebankan pelanggaran HAM walaupun mereka tidak melakukan secara fisik tetapi mereka mengetahui dan ikut memerintahkan karena hal tidak mungkin seorang prajurit melakukan suatu operasi tanpa sepengatahuan atau perintah dari atasan.
Dalam perkembanganya sebagai akibat belum adanya suatu peraturan Mengenai Hak Asasi Manusia secara universal akhirnya PBB berinisiatif untuk membentuk suatu peraturan dan pembentukan lembaga permanen yang mengadili tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk supermasi hukum dan keadilan dalam penaganan Kasus pelanggaran HAM.
Pada 17 Juli 1998, 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court menyetujui dibentuknya International Criminal Court (ICC) yang diadopsi dari Statuta Roma tersebut.Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court) merupakan sebuah lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-negara internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar menurut hukum internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.[8]
Statuta Roma menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen dalam penegakan pelanggaran HAM belum melakukan Ratifikasi Statuta Roma padahal hal ini telah tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 – 2009[9] dan remhamnas 2009-2014[10], akan tetapi Ratifikasi masih belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia dalam menghapusankan berbagai praktek impunitas yang terjadi di Indonesia sebagai legitimasi rakyat untuk mecapai suatu keadilan padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam pasal 28 I ayat 4 dinyatakan:[11]
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Dalam hal ini sudah sangat jelas negara harus berperan aktif dalam melindungi warga Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.[12] Pengadilan ini bersifat ad hoc (sementara) dan mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau. Namun jika di lihat dari fakta di lapangan banyak pelaku pelanggaran HAM berat tidak pernah di periksa akibatnya timbulnya Impunitas terhadap pelaku Pelanggaran HAM padahal pelanggaran HAM Bukan hanya mengenai kontak fisik tetapi ada pula asas Pertanggujawan Komando yang sangat efektif dalam menjerat para pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis berkeinginan meneliti dan memberikan sebuah gagasan dengan judul ”KAJIAN YURIDIS TERHADAP ASAS PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (SUATU TINJAUN KRITIS TERHADAP KASUS SEMANGGI)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Kajian Yuridis terhadap Asas Pertanggungjawaban Komando?
2.      Bagaimana mengkonstruksi Statuta Roma dalam hal penerapan asas Pertanggungjawaban Komando di Indonesia?
1.3.  Tujuan Penelitian
Adapun  tujuan  penelitian  berdasarkan  permasalahan  diatas  antara  lain sebagai berikut:
1.      Untuk dapat mengentahui dan menganilisis Asas Pertanggungjawaban Komando
2.      Untuk dapat mengetahui dan menganalisis penerapan asas Pertanggungjawaban Komando di Indonesia menurut Statuta Roma
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian hukum berdasarkan tujuan penelitian diatas anatara lain sebagai berikut.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat mengembangkan konsep tentang HAM dan Ratifikasi Statuta Roma di tinjau dari Praktek Impunitas dan Pertanggungjawaban Komando.

1.4.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1.4.2.1. Bagi Peneliti
Agar dapat mengetahui, mengerti dan memahami bagaimana Proses penegakan HAM di Indonesia, Manfaat Ratifikasi Statuta Roma oleh indonesia,dan praktek impunitas serta Pertanggungjawaban Komando di Indonesia
1.4.2.2. Bagi Masyarakat
Memberikan pemahaman serta pengetahuan yang objektif tentang Ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia dalam menghapus praktek Impunitas dan penegakan Pertanggungjawaban Komando.
1.4.2.3. Bagi Pemerintah
Memberikan dorongan moral agar dapat Meratifikasi Statuta Roma sebagai landasan untuk penyelesain kasus pelanggaran HAM.
1.4.2.4. Bagi Akademisi
Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan kajian ilmiah tentang penggunaan Ratifikasi Statuta Roma dalam penghapusan Praktek Impunitas dan Penegakan Asas Pertanggungjawaban Komando.






BAB II


TINJAUAN PUSTAKA




2.1. Tinjauan Filosofis

2.1.1. Pengertian Kajian Yuridis

Kajian berasal dari kata mengkaji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan mempertimbangkan dan sebagainya, menguji menelaah baik buruk suatu perkara.[13] Selanjutnya menurut Kamus Hukum kata Yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.[14] Dapat disimpulkan Kajian yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa untuk memahami suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum.
2.1.2. Pengertian Pertanggungjawaban

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.[15]
Roeslan Saleh berpendapat bahwa:[16]
Pertanggungan jawab itu dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan. Hubungan antara keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh aturan hukum. Jadi pertanggungan jawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.

Uraian konsep ”pertanggungjawaban” (liability), dilihat dari segi falsafah hukum selanjutnya lebih dipertegas oleh seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke 20, yaitu Rouscou Pound, dalam ”AnIntroduction to the Philosophy of Law”, yang mengemukakan pendapat bahwa :[17]
”I ... use the simple word ”liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjected to the exaction

Teori pertama, menurut Pound bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu hak istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban. Berdasarkan hal tersebut maka, konsepsi liability diartikan sebagai ”reparation”, sehingga terjadilah perubahan arti konsepsi ”liability” dari ”composition for vengeance” menjadi ”reparation for injury”. Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal dari ”liability” atau ”pertanggungjawaban”.[18]
Perkembangan konsep Pertanggungjawaban dalam dunia hukum kontemporer menjadi suatu hal yang sangat urgen pertanggunjawaban bukan saja dapat di artikan sebagai bagian menganti suatu materi atas kerugian yang dialami tapi lebih mengarah kepada tindakan apa yang telah dilakukan seseorang sehinga dapat di jatuhi hukuman.
Selanjutnya Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk dikatakan bahwa seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan harus memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban seperti berikut:[19]
a.    Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b.    Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
c.    Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
d.   Tidak adanya alasan pemaaf.

Dari berbagai Pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.
2.2. Pengertian Dan perkembangan Tanggung jawab Komando Terhadap Pelanggaran HAM yang Berat Dan Kejahatan Perang Dalam Hukum Internasional

2.1.1. Pengertian Tanggung jawab Komando Menurut Hukum Internasional

Berbicara tentang konsep pertanggungjawaban komando berlaku bagi seorang atasan dalam pengertian yang luas, termasuk kepala negara, kepala pemerintahan, menteri dan pimpinan perusahaan. Dalam doktrin hukum Internasional mengenai pertanggungjawaban komando adalah doktrin yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana secara individual yang dikembangkan melalui kebiasaan dan praktek-praktek pengadilan kejahatan perang, terutama seusai perang dunia ke-II.
Hugo Grotius menggunakan analogi ”tanggung jawab orang tua” (parental responsibility) untuk menggambarkan pertanggungjawaban komando:[20]
“Orang tua bertanggung jawab terhadap kesalahan anaknya sepanjang anaknya masih ada dalam kekuasaan mereka. Di sisi lain, walaupun orang tua memiliki anak yang berada di bawah kekuasaannya namun orang tua tersebut tidak mampu lagi untuk mengendalikan mereka, maka orang tua tersebut tidak lagi harus bertanggung jawab kecuali jika ia memiliki pengetahuan. Jadi dalam hal ini seorang dapat dikenakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain apabila memenuhi dua elemen, yaitu (1) pengetahuan (2) gagal untuk mencegah.”
Dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 asas Pertanggungjawaban Komando di atur dengan jelas pada Pasal 86 ayat (2) AP I berbunyi :[21]
The fact a breach of the conventions or of this Protokol was committed by a subordinate does not absolve his duperiors from penal or disciplinary, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they did not all feasible measures within their power to prevent or repress the breach”.
Pasal ini tidak menciptakan suatu aturan hukum baru, tetapi menjelaskan tentang aturan hukum kebiasaan bahwa pelanggaran dapat timbul sebagai akibat dari tidak dilakukannya suatu kewajiban.  Pasal 86 ayat (2) menetapkan tanggung jawab seorang atasan dalam kaitannya dengan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.  Dalam hal ini atasan wajib melakukan intervensi dengan cara mengambil semua lengkah yang memungkinkan sesuai kewenangan yang dimiliki untuk mencegah, atau menindak pelanggaran tersebut.
Selanjutnya dalam Statuta International Criminal Court (ICC) Pasal 28 huruf (a) Statuta ICC menyatakan:[22]
Seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer bertanggung jawab secara kriminal atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan kendalinya secara efektif, sebagai akibat kegagalannya dalam menjalankan pengendalian yang semestinya terhadap pasukan tersebut, dalam hal :
a.              Bahwa komandan militer mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu, mesti telah mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.
b.             Bahwa komandan militer tidak berhasil mengambil semua tindakan yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah atau menindak terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang berwenang dibidang penyelidikan dan penuntutan.

Berkaitan dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak tercakup dalam pasal di atas, pasal 28 huruf (b) menyatakan seorang atasan bertanggung jawab secara kriminal atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh bawahan yang berada di bawah kekuasaan dan kendali efektifnya, sebagai akibat kegagalannya dalam menjalankan pengendalian yang semestinya terhadap bawahan tersebut, dalam hal :[23]
a.              Atasan mengetahui, atau secara sadar mengabaikan informasi yang dengan jelas mengindikasikan bawahannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.
b.             Kejahatan tersebut berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian atasan secara efektif.
c.              Atasaan gagal mengambil semua upaya yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah dan menindak terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang berwenang di bidang penyelidikan dan penuntutan.

Perintah seorang Komandan yang di maksudkan adalah perintah yang tidak bertentangan dengan hukum, apabila perintah tersebut (eksplisit maupun implisit) bertentangan dengan hukum maka komandan (atasan) dan bawahan harus bertanggungjawab secara hukum. Hal lain dapat terjadi perintah seorang komandan, atasan atau pejabat berwenang subtansinya di luar kewenanganya, sehingga di katakan sebagai penyimpangan kekuasaan (abuse of power) sebagai salah satu sumber pelanggaran hukum bawahan.[24]
Secara prinsip komandan atau atasan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam dua kategori. Pertama, tanggung jawab muncul karena adanya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan komandan dalam merespon situasi dalam hal ini berupa keterlibatan komandan atas perintah dan perencanaanyang mengakibatkan bawahan melakukan pelanggaran hukum. Kategori pertama yang dikenal dengan tanggungjawab komando secara langsung (vicariuos atau direct command liability).[25]
Kedua seorang komandan atau atasan bertanggung jawab secara pidana karena tidak melakukan tindakan apapun sesuai dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikanya. Komandanmembiarkan terjadi pelanggaran hukum (omission) bawahanya atau tidak mengambil upaya yang tepat untuk menghentikan dan menindak bawahanya sebagai pelaku kejahatan. Tanggung jawab komandan dalam hal ini adalah tanggung jawab komando yang bersifat tidak langsung (indirect command responsibility atau imputed liability).[26]
Dari berbagai urain di atas dapat di simpulkan bahwa Pertanggungjawaban komando adalah suatu mekanisme untuk menghukum para atasan sebagai akibat pembiaran yang dilakukan atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, dimana atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya khususnya dalam pelanggaran HAM berat dimana atasan mempunyai kendali efektif (kesalahan dari atasan ataupun komandan tersebut). Bentuk kesalahannya adalah mengetahui atau sepatutnya mengetahui tetapi tidak mengambil tindakan-tindakan hukum berupa pencegahan, penanganan dan tidak melaporkannya. Komandan atau atasan tersebut yang harus melapor adalah bentuk kewajibannya.


2.1.2.Perkembangan Tanggung Jawab Komando Terhadap pelanggaran HAM yang berat Dan Kejahatan Perang Dalam Hukum Internasional.

Perkembangan Tanggung Jawab Komando mencapai puncaknya saat pecah perang dunia ke II sebagai akibat timbulnya suatu tindakan yang luar biasa kejam terhadap manusia yang membuat para pemimpin dunia memandang perlu adanya pengaturan lebih lanjut atas kejahatan ini akan tetapi perkembangan tanggung jawab komando telah berkembang beberapa abad sebelumnya di eropa. Dari ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab komando serta proses hukum yang berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, akan dikemukakan elemen-elemen pokok yang menjadi dasar penentuan kesalahan seorang komandan atau atasan atas dasar doktrin tanggung jawab komando atau tanggung jawab atasan.
Mulanya, Raja Charles Vll dari Perancis di Orleans pada tahun 1493 mengeluarkan perintah yang tegas berkaitan dengan doktrin tanggung jawab komando. Perintah tersebut menyatakan:[27]
”Raja memerintahkan bahwa setiap kapten atau letnan bertanggung jawab atas penyimpangan, tindakan buruk dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kompinya, dan setelah ia menerima suatu pengaduan mengenai adanya kesalahan atau penyimpangan tersebut, ia membawa pelakunya ke pengadilan sehingga pelakunya dihukum sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Jika ia tidak melakukan hal itu atau menutupi kesalahan atau tidak mengambil tindakan, atau jika, karena kelalainnya atau kesengajaannya pelaku kejahatan melarikan diri sehingga terhindar dari hukuman, kapten tersebut harus dianggap bertanggung jawab atas kejahatan tersebut seolah-olah ia telah melakukan sendiri kejahatan itu dan harus dihukum sama seperti yang akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan”.
Beberapa aspek penting mengenai doktrin tanggung jawab komando yang terdapat dalam perintah raja Charles tersebut adalah: pertama, komandan bertanggung jawab untuk mengendalikan perilaku termasuk cara bertindak yang dilaksanakan oleh bawahannya agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku; kedua, komandan berkewajiban untuk memproses setiap bawahannya yang terlibat sebagai pelaku kejahatan secara hukum; ketiga, jika komandan karena kelalaian atau kesengajaan membiarkan kejahatan terjadi dan tidak melakukan kedua hal tersebut di atas, maka ia bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh prajurit bawahannya.[28]
Lebih jelas lagi perkembangan doktrin tanggung jawab komando ini, diberlakukan oleh Adolphus Gustavus ketika pada abad VII tahun 1621 ia mengeluarkan suatu ketentuan yang dikenal sebagai pasal-pasal menegenai perang (the articles of war). Diantaranya Pasal 46 yang menegaskan bahwa:[29]
”seorang kolonel atau kapten tidak boleh memberikan komando kepada prajuritnya untuk melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum; siapa yang melakukan yang demikian itu harus dihukum berdasarkan keputusan hakim”.
Setelah itu doktrin pertanggungjawaban komando diatur dalam instrumen hukum Humaniter Internasional. Yang pertama yaitu dalam The Regulation Annexed to 1907 Haque Convention IV mengenai penghormatan terhadap hukum dan kebiasaan dalam perang di darat. Di dalam Regulation ini dikatakan bahwa sebagian dari hukum, hak-hak dan kewajiban dalam perang yang berlaku bagi angkatan bersenjata, juga berlaku bagi para milisi dan korps sukarelawan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh milisi dan korps sukarelawan, agar dapat dikategorikan sebagai kombatan yang sah, antara lain yakni harus dipimpin oleh orang yang bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan melaksanakan operasi militer berdasarkan hukum dan kebiasaan dalam hukum perang. Dari ketentuan Regulation ini dapat dilihat adanya aspek tanggung jawab sebagai salah satu syarat seseorang atau sekelompok orang untuk dapat dikatakan sebagai kombatan.[30]
Pengaturan tanggung jawab komando terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Den Haag IV 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Ayat (1) dari Pasal 3 Konvensi Den Haag IV 1907 ini mengatakan bahwa setiap pihak yang bersengketa yang melanggar ketentuan hukum perang bertanggung jawab untuk membayar kompensasi jika kasusnya menghendaki demikian. Kemudian ayat (2) dari pasal yang sama mengatur bahwa pihak yang bersengketa bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjatanya.[31]
Melihat ketiga Konvensi tersebut terdapat pengaturan tentang tanggung jawab negara dan khususnya para Komandan berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi Jenewa 1949. Hal yang sama juga terdapat dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Konvensi jenewa I Tahun 1949 yang mengatur tentang tanggung jawab negara untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter.[32]
Dalam sejarah peradilan internasional, masalah tentang tanggung jawab komando ini juga diterapkan dalam Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo terhadap pelaku kejahatan perang dari Nazi Jerman seperti telah di jelaskan di atas bahwa asas pertanggungjawaban komando mencapai pucaknya pada saat perang dunia ke II saat itu sekutu mengadili penjahat perang nazi dan jepang dalam suatu pengadilan yang bersifat ad hoc untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saat perang.
Adapun pengadilan Nurenberg dibentuk berdasarkan piagam Nurenberg atau piagam London. Didalam Piagam London ini ditetapkan tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yuridiksi dari mahkamah Nurenberg yaitu; kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang),dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Yuridiksi Mahkamah tersebut diatur dalam Pasal 6 piagam Nurenberg.[33]
Dengan melihat kedua mahkamah tersebut (Nurenberg serta Tokyo) dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi suatu kejahatan maka tanggung jawab berlaku bagi para pemimpin, organisator, pemicu dan penyerta yang ikut serta dalam merumuskan, atau melaksanakan rencana umum atau konspirasi untuk melakukan setiap kejahatan. Baik pihak yang memberi perintah dan yang malaksanakan perintah sama-sama bersalah melaksanakan kejahatan. Apabila Komandan yang bersangkutan tidak memerintahkan (memberi perintah secara langsung) kejahatan tersebut tetapi ia mengetahui atau semestinya mengetahui tindakan yang melanggar hukum dan tidak mengambil tindakan yang semestinya maka komandan tersebut dapat dihukum.
Kemudian konsep tanggung jawab komando ini diatur dalam ICTY (International Criminal tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR (Rwanda) serta ICC. Dalam ICTY tanggungjawab komando diatur dalam Pasal 7 ayat (3) yang menegaskan bahwa seorang komandan dapat dikenakan tanggung jawab mengenai kejahatan yang dilakukan oleh prajuritnya yang berada dibawah komandonya jika ia memerintahkan, atau menyadari atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan kejahatan serta ia gagal untuk mengambil langkah yang diperlukan dan pantas guna mencegahnya. Hal yang sama juga dipertegas dalam Pasal 6 ayat (3) ICTR.[34]
Pada saat itu slobodan milosevic Selama Perang Kosovo Milošević dikenai tuduhan pada 27 Mei 1999, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Kosovo. Ia diadili hingga kematiannya di International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, yang dinyatakannya tidak legal, karena dibentuk berlawanan dengan anggaran dasar PBB.[35]
Istilah ”kejahatan terhadap kemanusiaan” (Crime Against humanity) bermula sejak dikembangkan Petersburg Declaration tahun 1868. Namun perumusan kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri belum dirumuskan dalam declaration tersebut, melainkan perumusan tersebut terdapat dalam konvensi Den Haag 1907 (Haque Convention), yang merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan mengenai konflik bersenjata. Dalam konvensi tersebut istilah kejahatan terhadap kemanusiaan memakai istilah ”hukum kemanusiaan”(laws of humanity). Konvensi ini menyatakan bahwa hukum kemanusiaan (laws of humanity) merupakan dasar perlindungan bagi pihak kombantan maupun penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata. Adapun kodifikasi ini didasarkan kepada praktek negara yang diturunkan dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianggap sebagai hukum kemanusiaan berdasarkan sejarah dari berbagai kebudayaan.[36]
Seusai Perang Dunia ke-II, pengadilan militer Internasional (International Military Tribunal/IMT) di Nurenberg memisahkan antara kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 6 Piagam London (London charter) merumuskan kejahatan perang (war crimes) sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang yang meliputi antara lain pembunuhan, perlakuan kejam, atau deportasi secara paksa untuk dijadikan budak, yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Sedangkan yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk didalamnya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan perbuatan yang tidak menusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, baik yang dilakukan sebelum atau ketika perang berlangsung. Kejahatan terhadap kemunusiaan ini juga meliputi penyiksaan terhadap penduduk sipil yang didasarkan pada alasan-alasan politik, rasial dan agama.[37]
Perkembangan hukum Internasional untuk memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli 1998, yakni pada waktu konferensi diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang pendirian mahkamah pidana Internasioanal (Rome Statute on the establishments of the International Criminal Court/ICC), yang akan mengadili pelaku kejahatan yang amat serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, genoside dan kejahatan perang.[38]
2.3. Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia Untuk Penegakan Asas Pertanggungjawaban Komando.

2.1.1.Pembentukan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Istilah Pengadilan HAM untuk pertama kalinya disebutkan secara formil dalam Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 104 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini menyatakan bahwa pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat, seperti pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitary/extra judicialkilling), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 rome statute of the international criminal court.[39]
Peraturan Perundang-undangan ini menjadi tonggak sejarah tersendiri bagi Indonesia yang baru menyelesaikan undang-undang ini di tenha kekacaun politik yang melanda waktu itu. Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia seperti menjadi nafas baru serta harapan baru demi terwujudnya Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum. Perpu tersebut sesungguhnya dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, yaitu sehubungan dengan terbentuknya opini umum, baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam dapat dilihat pada situasi politik waktu itu masyarakat mendesak dan menghendaki pemerintah melalui pengadilan untuk segera mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat.
Di keluarkannya Perppu a quo kemudian dipandang sebagai solusi untuk memberikan kepastian awal bagi masyarakat dan dunia internasional bahwa Indonesia memiliki kemauan untuk memproses segala bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM. Potret ini jika dilihat dari aspek politik hukum, maka proses pembentukannya bertitik tolak atas perkembangan hukum masyarakat dalam negeri dan dan masyarakat global, dengan kata lain proses ini memiliki tendensi untuk kepentingan nasional agar tetap eksis dalam percaturan dunia global. Apabila Indonesia tidak segera merespon situasi politik pada saat itu, dapat dipastikan Indonesia yang telah mentasbihkan diri bergabung dengan PBB akan dikucilkan dalam pergaulan dunia. Hal ini mengingat PBB secara tegas menjunjung nilai universal HAM dan berkomitmen menegakannya.
Mengingat masyarakat belum merasa puas jika payung hukum pengadilan HAM hanya berdasarkan Perpu, maka masyarakatpun mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Perpu a quo menjadi UU. Akhirnya pada tahun 2000 Perpu a quo disahkan menjadi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Dengan demikian, pemberlakuan UU a quo merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan proses pemgadilan dapat dilaksanakan oleh bangsa sendiri.[40]
Kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh penguasa.[41]
Pemerintah ketika hendak merumuskan atau membuat aturan HAM harus memiliki pertimbangan matang dan koheren dengan situasi politik yang ada. Maka dalam konteks UU tentang pengadilan HAM, pertimbangan pemerintah dalam penyusunan UU pengadilan HAM (sebelumnya RUU) adalah sebagai berikut:[42]
1.    Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dengan demikian merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia;
2.    Dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini mengingat kebutuhan hukum yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat.
3.    Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.

2.1.2.Kelemahan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-undang tentang pengadilan HAM adalah sebagai akibat tekanan internasional untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada tahun 1998 saat itu pemerintah membuat dengan terburu-buru dan kurang memperhatikan subtansi dari Undang-undang yang di buat yang membuat banyak produk undang-undang HAM menjadi Absurt atau kabur mengakibatkan ketidakjelasan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.
Pembentukan undang-undang a quo terjadi ketika terungkapnya fakta telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indoensia, sehingga muncul desakan dari PBB untuk segera diadili pelaku-pelakunya. Mengingat waktu itu Indoensia belum mempunyai instrumen hukumnya, maka muncul gagasan dari PBB agar pelakunya diadili melalui pengadilan HAM internasional atau Mahakamah Internasional. Apabila hal itu terjadi, maka yuridksi hukum nasional tidak ddigunakan dalam proses mengadili pelaku-pelakunya. Sehingga sebagai langkah antisipasi, pemerintah membentuk Pepru sebagai legitimasi pembentukan pengadilan HAM, kemudian disahkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000. Proses tersebut jelas sangat mendadak dan terburu-buru karena seolah-olah hanya dimaksudkan agar menghindarkan para pelaku pelanggaran HAM berat dari jerat Mahkamah Pidana Internasional. Selain itu juga diiringi motif Indonesia untuk mengadili pelaku di Indonesia dengan hokum nasional yang ada.[43]
Adapun titik lemah dalam UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia antara lain sebagai berikut, yaitu:
1.    Meluas atau Serangan sistematis terhadap penduduk sipil[44] dalam Statuta Roma menjadi ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil[45], padahal seharusnya berbunyi ditujukan kepada populasi sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi pada seolah-olah hanya pelaku di lapangan saja yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak tercakup dalam pasal ini. istilah “penduduk” untuk menerjemahkan kata “population” telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah yang akan menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya kepada warga negara dimana kejahatan tersebut berlangsung.[46] Hal diatas berkaitan erat dengan „delik tanggung-jawab komando‟ sebagaimana yang diatur di dalam pasal 42 ayat 1 yang menyatakan :[47] “Komandan Militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau dibawah kekuasan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengandalian pasukan secara patut…..”.
Penggunaan kata dapat dan bukannya kata akan atau harus, telah menyebabkan bahwa tanggungjawab komando dalam kasus pelanggaran HAM berat tidak bersifat wajib, tapi lebih dibebankan kepada pelaku langsung di lapangan (dalam hal ini para anak buah/prajurit dilapangan);
2.    Disamping persoalan-persoalan adopsi/penerjemahan yang tidak sesuai yang penulis sebutkan diatas (lepas apakah hal itu disengaja atau tidak), terbukti telah menyebabkan munculnya pengertian/penafsiran yang berbeda pada isi pasal-pasal yang ada dalam UU No. 26/2000 dengan ketentuan yang ada pada Statuta Roma yang dijadikan dasar/rujukan. Tapi yang tidak kalah penting adalah tidak adanya/tidak dicantumkannya apa yang disebut sebagai element of crimes di dalam UU Peradilan HAM. Karena dalam element of crimes itulah secara jelas terdapat elaborasi atas unsur-unsur, definisi-definisi dan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga perbedaan penafsiran maupun interpretasi dalam hal ini bisa diminimalkan.
Dari urain di atas kita dapat melihat bahwa UU tentang HAM yang berlaku di Indonesia masih sangatlah lemah dalam menjerat para pelaku kejahatan HAM sebagai akibat masih adanya multitafsir terhadap Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM akibatnya banyak pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia yang tidak dapat di proses terutama para Komando Militer karena mereka masih mempunyai cela dalam memahami frasa kata yang terdapat dalam Undang-undang  tersebut hal ini pasti akan berimplikasi kepada praktek impunitas yang makin tumbuh subur dalam sistem hukum Indonesia.








BAB III

METODE PENELITIAN




3.1. Jenis Penelitian


 Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.[48]
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yakni Kajian Yuridis Terhadap Asas Pertanggungjawaban Komando Suatu Kajian Kritis terhadap kasus semanggi Penelitian ini menganalisis kedua rumusan masalah secara normatif. Analisis dengan cara normatif dilakukan dengan cara kajian kepustakaan dan literatur terkair terkait penegakan asas Pertanggungjawaban Komando yang belum di laksanakn secara optimal di Indonesia.
Penelitian hukum normatif atau penlitian hukum doctrinal, yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan.[49]
3.2. Pendekatan Penelitian

 Peneliti dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa pendekatan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki, yakni:[50]
1.      Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka sejarah lembaga hukum dan perkembangan pemikiran hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Disamping itu, melalui pendekatan demikian peneliti juga dapat memahami perubahan-perubahan dan perkembangan filosofis yang melandasi aturan hukum tersebut. Dalam pendekatan historis ini, maksud calon peneliti adalah melihat tujuan di berlakukanya Asas Peratnaggungjawaban Komando di dunia dan khusunya Indonesia.
2.      Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat negara melalui prosedur yang ditetapkan dalm peraturan perundang-undangan.[51] Dari pengertian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan regulasi. Jika demikian, pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan menggunakan legislasi dan regulasi. Selain itu penulis juga akan melakukan pendekatan peraturan Internasional seperti Konvensi, Traktat, Statuta Roma (ICC), Peraturan Pengadilan Ad hoc.
Peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah:

1)      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3)      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4)      Peraturan Pemerintah

            Peraturan Internasional yang di gunakan di penelitian ini adalah:

1)    Konvensi
2)    Traktat
3)    Statuta Roma (ICC)
4)    Pengadilan Internasional Ad hoc

3.      Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual dilakukan manakala calon peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Dalam pendekatan ini, calon peneliti memikirkan bagaimana seharusnya permasalahan ini dijawab setelah dilakukan penelitian menggunakan metode pendekatan historis dan pendekatan pernudang-undangan.
3.3. Bahan Hukum

Pada penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian hukum khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu dikenal istilah bahan hukum.[52] Penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut bahan hukum sekunder.[53] Bahan hukum yang digunakan di dalam penelitian ini terbagi atas primer dan sekunder:
1.      Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki otoritas, dalam penelitian ini terdiri dari;
a.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b.      TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
c.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
d.     Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
e.       Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
f.       Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.
g.      Konvensi Den Haag IV 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
h.      Konvensi jenewa I Tahun 1949 tentang Tanggung Jawab Negara.
i.        Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977.
j.        Statuta International Criminal Court (ICC).
k.      International Criminal tribunal for the former Yugoslavia.
l.        International Military Tribunal/IMT)  Nurenberg.
2.  Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian. Bahan hukum sekunder berfungsi memperkuat penjelasan. Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi atau hasil-hasil penelitian lainnya.
3.  Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dapat bersumber dari dari Blibliografi, Indeks Kumulatif, Kamus-Kamus maupun akses internet yang kredibel.[54]
3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam sebuah penelitian normatif dilakukan dengan cara telaah arsip, dokumen perundang-undangan atau studi pustaka seperti buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi atau publikasi hasil penelitian lainnya.
3.5. Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum sendiri adalah metode penafsiran hukum yang ditijukan untuk mendapatkan kejelasan dari suatu hal. Tahapan analisis bahan hukum, diawali dengan pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer berupa konstitusi, undang-undang, sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku, dan publikasi hasil penelitian. Bahan hukum primer dan sekunder ditelaah dan dianalisis sehingga melahirkan suatu konsep yang berkaitan dengan judul penelitian tersebut.[55]











DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Asshiddiqie Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Atmasasmita Romli, Perbandingan Hukum Pidana, cetakan pertama, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Arinanto Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan ke II , Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2005
Abidin Zainal , Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2007.
Budiardjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Fajar ND Mukti dan Achmad Yuliyanto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta:, 2010.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,cetakan keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Marzuki Peter, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Surabaya: Prenadamedia Group, 2005
…………………Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.
Marwan. M dan P. Jimmy, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009
Muhammad Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan 1. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Starke. J.G , Pengantar Hukum Internnasional Cetakan ke Sepuluh, Jakarta Sinar Grafika, 2010.
Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Suratman dan Dillah H. Philips, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2013
Saleh Roeslan, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, 1982.
Wibowo wahyu , Pengantar Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hukum Militer, Jakarta, 2014
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.
Konvensi Den Haag IV 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
Konvensi jenewa I Tahun 1949 tentang Tanggung Jawab Negara.
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977.
Statuta International Criminal Court (ICC).
International Criminal tribunal for the former Yugoslavia.
International Military Tribunal/IMT)  Nurenberg.
Jurnal Hukum
Kertas Kerja Kontras “Hak Asasi Diakui tapi Tidak Dilindungi”.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Kertas Kerja: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional ,2008.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando Suatu Telaah Teoritis. Jakarta: ELSAM, 2005
Natsri Anshari, Dalam Artikel Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional dan hukum nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1 No.1, Edisi Juli 2005.
Fadillah Agus, dalam makalah Tanggung jawab Komando oleh Vonny A. Wongkar ,Tanggung Jawab Komando Terhadap  Pelanggaran Hak Asasi Manusia  Yang Berat Dan Kejahatan Dalam Pembaharuan Hukum  Pidana Di  Indonesia. 2009.
Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM) Masyarakat Makalah Kejahatan Terhadap kemanusiaan, 2008. 
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Slobodan_Milo%C5%A1evi%C4%87 Di akses tanggal 17 November 2016. Pukul 13.00. WITA.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bosnia Di akses tanggal 17 November 2016, Pukul 12.30. WITA.
https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi. Di akses tanggal 21 November 2016. Pukul 13.33 WITA.
http://kbbi.web.id/kaji Di akses tanggal 21 November 2016, pukul 15.00. WITA).
http://kbbi.web.id/tanggung%20jawab (Di akses tanggal 17 November 2016, pukul 10.00. WITA).






[1] .Starke, Pengantar Hukum Internnasional, (Jakarta Sinar Grafika, 2010), Hal 8.
[2] Ibid. hlm. 17
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama 2008, Hal 211.
[4]Lihat. https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bosnia Di akses tanggal 17 November 2016, Pukul 12.30. WITA.
[5] Lihat. Kertas Kerja Kontras“Hak Asasi Diakui tapi Tidak Dilindungi. Hal 1.
[6] Ibid
[7] Lihat. https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi. Di akses tanggal 21 November 2016. Pukul 13.33 WITA.
[8]Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Kertas Kerja: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008.
[9] Lihat. Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
[10] Lihat. Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.
[11] Lihat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 28 I ayat 4.
[12] Lihat. Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.
[13] Lihat.  http://kbbi.web.id/kaji (Di akses tanggal 21 November 2016, pukul 15.00. WITA).
[14] M. Marwan dan Jimmy P. 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 651.
[15] Lihat.  http://kbbi.web.id/tanggung%20jawab (Di akses tanggal 17 November 2016, pukul 10.00. WITA).
[16]Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungja waban Pidana, 1982, Ghalia Indonesia, hal.33-34.
[17] Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, cetakan pertama, 2000, Mandar Maju, Bandung,hal. 65.
[18] Ibid. Hlm 65-66
[19] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,cetakan keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 2000. Hal 164.
[20] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando Suatu Telaah Teoritis. (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 4
[21] Lihat. Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 Pasal 86 ayat (2) AP I.
[22] Lihat. Statuta International Criminal Court (ICC) Pasal 28 huruf (a).
[23] Lihat. Statuta International Criminal Court (ICC) Pasal 28 huruf (b).
[24] Wahyu, Pengantar Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hukum Militer, Jakarta, 2014. Hal 208-209.

[25] Ibid. hlm. 209.
[26] Ibid. hlm. 209-210.
[27] Natsri Anshari, Dalam Artikel Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional dan hukum nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1 No.1, Edisi Juli 2005. Hal. 50-51.
[28] Ibid. hlm. 51-52.
[29] Ibid. hlm. 52
[30] Ibid. hlm. 53-54.
[31] Fadillah Agus, dalam makalah Tanggung jawab Komando oleh vonny (2009). Tanggung Jawab Komando Terhadap  Pelanggaran Hak Asasi Manusia  Yang Berat Dan Kejahatan Dalam Pembaharuan Hukum  Pidana Di  Indonesia. Hlm. 67.
[32] Pasal 49 dan Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: Pasal 49: Pihak peserta agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggarana berat atas konvensi ini seperti ditentukan di dalam pasal berikut. Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berta yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsannya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya,dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangannya sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan, orang-orang tersebut untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung tersebut dapat menunjukkan suatu perkara prima facie. Tiap Pihak Peserta Agung Harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Dalam segala keadaan, orang-orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tidak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan perang tanggal 12 Agusrus 1949 sebagaimana diatur dalam Pasal 105 dan seterusnya.
Pasal 50: Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan oleh pasal yang terdahulu ialah pelanggaran-pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan berikut, apabila dilakukan terhadap orang-orang atau milik yang dilindungi oleh konvensi:pembunuhan disengaja, penganiayaanatau perlakuan tidak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan biologis, menyebebkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum serta dengan semena-mena.
[33] Pasal 6 berisi 3 jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi (kompetensi absolut) mahkamah, yaitu:
a.Kejahatan Perdamaian; kejahatan terhadap perdamaian adalah perencanaan, persiapan, inisiasi atau pelaksanaan perang agresi, atau peperangan yang melanggar perjanjian internasional, atau ikut serta dalam suatu konspirasi untuk melakukannya;
b.Kejahatan Perang; pelanggaran terhadap hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang.ͨ : pembunuhan, perlakuan buruk, deportasi, perbudakan, perampasan, dan penghancuran;
c.Kejahatan Kemanusiaan; adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang berlangsung, atau penganiayaan atas dasar politik, rasial atau keagamaan dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun dalam yurisdiksi Mahkamah, baik yang dianggap melanggar atau tidak melanggar hukum domestik di negara tempat kejahatan itu dilakukan.


[34] Lihat. ICTY (International Criminal tribunal for the former Yugoslavia). Pasal 6 ayat 3 dan pasal 7 ayat 3.
[35]Lihat. https://id.wikipedia.org/wiki/Slobodan_Milo%C5%A1evi%C4%87 Di akses tanggal 17 November 2016. Pukul 13.00. WITA.
[36]Makalah Kejahatan Terhadap kemanusiaan, Elsam hal.2
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Lihat. penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 junto penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000.

[40] Lihat. penjelasan umum UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
[41] Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2005), hlm. 32
[42] Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2007), hlm. 4-5
[44] Lihat Pasal 7 Statuta Roma Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusian.
[45] Lihat Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
[46] Zainal Abidin. Op. cit, hlm. 11
[47] Lihat Pasal 42 Ayat 1 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
[48] Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 52
[49] Mukti Fajar ND dan Yuliyanto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:, 2010), hal 154.
[50] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Surabaya: Prenadamedia Group, 2005), hal.136-176

[51] Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
[52] Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti), 2004), hal. 41
[53] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal. 24


[54] Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013), Hal. 67
[55] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 308

Tidak ada komentar